EKSPANSI KOLONIAL KELUAR JAWA (1850-1870)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Periode antara tahun-tahun 1850 dan 1870 ditandai oleh pesatnya kemajuan perdagangan eropa, dan negeri belanda mendapat keuntungan dari perkembangan ini. Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa cultuurstelsel ikut serta membantu membangun kembali ekonomi secara besar-besaran, disamping memasukkan jutaan kekayaan ke dalam perbendaharaan belanda. Ekspansi perdagangan internasional belanda terutama disebabkan oleh berkembangnya impor hasil-hasil dari indonesia dan meningkatnya perdagangan transito.pada tahun 1854 Regeerings Reglement (RR) meletakkan dasar bagi pemerinthan kolonial. Prinsip liberal tentang kebebasan individu, keamanan hak-hak dan usaha-usaha di dalam RR itu adalah esensial. Dengan adanya RR—Konstitusi kolonial- mulailah standar baru bagi pemerintahan di indonesia dan dipaksakanlah politik yang lebih liberal. Gejala yang menyertai industrialisasi dan perdagangan bebas adalah berkembnagnya dan begeraknya modal. Perkembangan bank-bank yang cepat antara tahun-tahun 1850 dan 1870 menunjukan adanya konsentrasi dan sentralisasi modal.[1]

Sejak tahun 1840 dan seterusnya keterlibatan belanda di seluruh wilayah luar jawa semakin meningkat. Sering kali ada dorongan-dorongan ekonomi, termasuk usaha melindungi perdagangan antar pulau. Sering kali para pejabat daerah yang berkebangsaan Belanda melakukan campur tangan karena adanya ambisi untuk kemulian atau kenaikan pangkat, walaupun dengan demikian mereka melawan kebijakan resmi batavia yang sebenarnya adalah menghindari perluasan kekuasaan belanda. Ada dua pertimbangan umum yang terdapat dimana-mana. (1) untuk menjaga keamanan daerah-daerah yang sudah berhasil dikuasai maka belanda merasa terpaksa menaklukan daerah-daerah lain yang mungkin akan mendukung atau membangkitkan gerakan perlawanan. (2) ketika pejuangan bangsa eropa untuk memperoleh daerah-daerah jajahan mencapai puncaknya pada akhir abad XIX, pihak belanda merasa wajib untuk menetapkan hak mereka terhadap daerah-daerah diluar jawa dalam rangka mencegah campur tangan kekuatan barat lainnya disana, juga temapat-tempat yang pada mulanya tidak diminati oleh pihak belanda.[2] Pergolakan di daerah sering dipergunakan sebagai kesempatan bagi belanda untuk mempasifikasikan dan menanam kekuasaan serta mengatur pemerintahannya.[3]


BAB II
EKSPANSI KOLONIAL KELUAR JAWA
(1850-1870)

Perluasan kekuasaan belanda di daerah-daerah luar jawa benar-benar berbeda dengan perluasaan kekuasaannya di jawa, karena disebagian besar daerah luar jawa tidak pernah ada alasan yang permanen atau sungguh-sungguh untuk menguasai oleh pihak belanda. Namun perkembangan di daerah-daerah pulau jawa tidak memperlihatkan dampak pengaruh kolonialisme yang mendalam seperti di pulau jawa kecuali di dua tempat, yakni sumatera barat pada etnik minangkabau dan Sulawesi utara pada etnik minahasa. Di kedua tempat ini , pola penanaman seperti tanam paksa di laksanakan, peruban-perubahan sosial deras melanda kehidupan masyarakat melalui pengenalan pendidikan. [4]
Dengan adanya ekspansi yang dilakukan bangsa kolonial terhadap luar jawa maka banyak terjadi perlawanan-perlawanan diantaranya sebagai berikut :

A.    PERLAWANAN KEUSULTANAN DI SUMATERA
a.       PERLAWANAN KESULTANAN JAMBI
Pada tahun 1855 Sultan Abdul Rahman Nasiruddin (1841-1855) digantikan oleh Ratu Taha Saifuddin (1855-1858) yang tidak mau menandatngani perjanjian yang mengakui kedaulatan Belanda dan dengan demikian mengakibatkan dilancarkannya suatu serangan oleh belanda pada tahun 1858. Taha melarikan diri ke wilayah pedalaman dengan membawa serta tanda kebesaran kerajaan yang paling penting. Para penggantinya, yang mendapat dukungan belanda, mengakui kedaulatan belanda, tetapi Taha dan para pendukungnya menguasai sebagian besar wilayah pedalaman dan  membangkitkan perlawanan selama beberapa dasawarsa. [5]
Aktifitas melawan belanda makin gencar sejak ia naik tahta menjadi raja jambi pada tahun 1855. Usahanya melawan belanda dilakukan dengan mengalang kekuatan masyarakat dan bekerjasama dengan raja sisimangaraja. Untuk meruntuhkan kekuasaan Sultan Thaha Syaifuddin, belanda melakukan politik adu domba dengan mengangkat salah seorang putera sultan yang masih berusia tiga tahun menjadi putra mahkota. Untuk mendapingi putera mahkota diangkat dua orang wali yang memihak kepada belanda. Namun usahn adu dombanya tidak berhasil karena kerabat istana dan rakyat tetap bersikap melawan belanda.
Pada tahun 1899 Sultan terakhir yang diakui oleh belanda, Ahamad Zainudin (1885-99), mengundurkan diri. Karena pihak belanda dan kalangan elit Jambi tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai penggantinya, maka residen belanda di palembang diserahi kekuasaan atas jambi pada tahun 1901. Meletusnya perlawanan-perlawanan baru yang tidak dapat di kendalikan oleh ekspedisi-ekspedisi militer yang dikirim ke daerah-daerah pedalaman jambi sampai tahun 1907.

b.      PERLAWANAN KESULTANAN SIAK
Pada tahun 1857 perundingan-perundingan dengan siak yang telah dihentikan dimulai lagi dan pada tahun 1858 menghasilkan suatu perjanjian yang menetapkan Siak sebagai wilayah belanda. Pasal kedua dari perjanjian ini menetapkan garis-garis perbatasan Siak secara berlebihan; sehingga mencakup pelabuhan-pelabuhan lada yang berada dibawah yurisdiksi Aceh dan mempunyai arti yang penting bagi perdagangan inggris. Pihan inggris merasa keberatan, dan pada tahun 1863-1865 inggris mengirim kapal-kapal perang ke pelabuhan lada tersebut.

c.       EKSPANSI KOLONIAL DI SUMATERA UTARA
Disumatera utara pada tahun 1850 timbul pergolakan maka belanda bertindak untuk menyusun pemerintahan secara langsung. Setelah membuka perkebunan tembakau di Besuki sejak tahun 1861 Nienhuys pada bulan juli tahun 1863 pergi kesumatera utara memperluas usahanya di sana. Dengan percobaan sederhana dia membuka 75 Ha perkebunan tembakau di Deli dan muatan tembakau pertama tiba di Rotterdam pada bulan maret 1864. Setelah berbagai kesulitan dan kegagalan dapat diatasi, antara lain dengan dukungan perusahaan, seperti van den arend dan mathieu & Co, pada tahun 1865 dapat dikirim 189 bal tembakau. Untuk produksi itu Nienhuys telah mengerahkan tenaga Cina dari Singapura, sebanyak 120 orang. Diuslkannya investasi untuk membuka perkebunan kopi, coklat, kelapa, namun pada tingkat itu tidak ada yang dikabulkannya. De Munnick sebagai pengganti Nienhuys sejak tahun 1867 membuat kontrak untuk 99 tahun yang mencakup 2000 bau. Stelah berhasil mengumpulkan modal Nienhuys kembali ke sumatera utara dan membuka perkebunan yang terletak antara sungai deli dan sungai percut. Hasilnya pada tahun 1868bmemberi keuntungan 100% lebih, maka segera terbentuklah Deli Maatschappij, suatu N.V. dengan modal yang separuh dari Nederlandsche Handels Maatschappij.[6]


B.     PERLAWANAN KESULTANAN KALIMANTAN

Di kalimantan terjadi persaingan langsung antara kekuatan-kekuatan penjajahan yang sedang memperluas kekuasaannya. Pada awal abad XIX baik inggris maupun belanda mempunyai kepentingan di sana yang digariskan secara jelas. Bagi inggris pokok persolannya bersifat strategis: kalimantan sendiri tidak begitu penting artinya, tetapi karena pulau itu diapit jalur pelayaran antara india dan cina, inggris tidak dapat mengabaikan kekuatan Eropa lainnya, terutama di kalimantan Barat dan Utara. Kepentingan belanda pada dasarnya bersifat penjajahan: kalimantan terletak di sebelah laut jawa dan merupakan pusat para bajak laut dan orang-orang cina yang anti belanda.
Pada tahun 1840-an dan 1850-an belanda melakukan campur tangan dibeberapa wilayah, memadamkan sengketa-sengketa dalam negeri, dan mengatur hubungan dengan perjanjian-perjanjian baru. Mulai tahun 1846  dan seterusnya tambang-tambang batu bara mulai dibuka di kalimantan selatan dan timur; inilah yang menybabkan pulau tersebut mulai mempunyai nilai ekonomi yang lebih besar bagi rezim kolonial.
Di kalimantan barat dan tenggara sikap baru pihak belanda itu menimbulkan perlawanan hebat. Kongsi-kongsi (asosiasi-asosiasi) cina yang menguasai tambang-tambang emas di daerah pontianak-sambas paling bertikai satu sama lain mengenai penguasaan atas sumber-sumber emas yang semkin menurun. Persaingan ini terus berlanjut walaupun pihak belanda melakukan campur tangan, bahkan sekali-sekali meletus pertempuran-pertempuran kecil dari tahun 1850 sampai 1854. Akhirnya, pasukan kolonial belanda keluar sebagai pemenang, tetapi sesudah itu pun tetap berlangsung kerusuhan-kerusuhan di daerah itu.
Banjarmasin merupakan ajang dari suatu perlawanan bangsa indoneisa yang lebih lazim. Ketika Sultan Adam (1825-57) meninggal pada tahun 1857, belanda mengangkat cucunya pangeran Tamjidillah menjadi Sultan. Tamjidillah adalah putera pertama Abdul Rakhman dari istri keturunan cina. Ia tidak disukai berbagai kalangan rakyat banjar yang mayoritas islam tidak saja karena ia bukan anak dari seorang ibu bangsawan namun karena ia gemar minuman keras. Mereka menghendaki pangeran Hidayatullah, putra Abdul Rakhman dari istri seorang bangsawan, menjadi sultan. Tetapi Tamjidillah mendapat dukungan kuat dari belanda karena ia menjanjikan konsesnsi yang lebih besar daripada yang dapat diberikan oleh Hidayatullah. Tindakan belanda yang tetap mengangakat Tamjidillah menjadi sultan menimbulkan peristiwa-peristiwa yang berdiri sendiri dan akhirnya menyebabkan meletusnya perang Banjarmasin (1859-1863). [7]
Pada bulan april tahun 1859 seorang pangeran dari suatu cabang keluarga kerajaan banjarmasin yang telah disingkirkan haknya, pangeran Antasari, bekerjasama dengan dua pimpinan petani yang menamakan dirinya penembahan Aling dan anaknya sultan kuning untuk melancarkan suatu pemberontakan secara besar-besaran. Mereka menyerang perusahaan pertambangan batu bara belanda dan pos-pos misionaris serta membunuh orang-orang Eropa yang sempat mereka jumpai. pihak belanda mendatangkan pasukan-pasukan bala bantuan dan berhasil mengambil inisatif militer pada tahun 1859, tetapi perang tersebut menelan biaya dan meminta korban jiwa yang sangat besar di pihak belanda. Para pemimpin isalam di perdesaan turut memimpin suatu perlawanan yang berani dan gigih. Pada tahun 1860 pihak belanda menyatakan bahwa kesultanan tersebut dihapuskan dan mengumumkan kekuasaan kolonial yang bersifat langsung. Pertempuran tersebut berakhir tahun 1863, tetapi perlawanan yang bersifat sporadis tetap berlanjut di bawah pimpinan keturunan-keturunan Antasari dan kerabatnya surapati sampai tahun 1906.[8]



C.     PERLAWANAN KESULTANAN SULAWESI
Pasukan kolonial kembali melancarkan serangan besar-besaran pada tahun 1858-1860, tetapi penaklukan yang terakhir dan menentukan baru terjadi pada tahun 1905-6 ketika perlawanan bugis dan makasar dapat dipatahkan.
Pada 1825 pasukan Belanda dan Makasar dari Gowa berhasil mengalahkan Bone tapi adanya perang Jawa menyebabkan Bone kembali menyerang karena kekuatan Belanda banyak yang berada di Jawa.Baru pada 1830,Bone mau memperbaharui perjanjian Bungaya,akan tetapi hal itu tidak menambah kekuasaan Belanda karena terjadinya pemberontakan akibat konflik dalam negeri serta dengan Belanda sendiri namun pada 1858-1860,Belanda mengadakan serangan secara besar-besaran.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dengan adanya ekspansi-ekspansi yang dilakukan oleh bangsa kolonial terhadap daerah-daerah pulau jawa, banyak perlawanan-perlawanan yang muncul dari rakyat. Mudahnya kolonial Belanda menguasai daerah-daerah diluar jawa karena rakyat indonesia yang masih terpecah belah, maka mereka tidak saja  dapat ditaklukan oleh kekuatan penjajahan yang relatif kecil tetapi juga secara aktif ikut serta dalam penaklukan satu sama lain.
Perlawanan-perlawan sudah lama terjadi mulai dari Ekspansi Voc hingga pertengan abad ke-19. Dari pemberontakan di Saparua, perang padri, perang diponegoro, perang banjarmasin, perang aceh,  dan lainnya termasuk perlawan-perlawanan kecil.



[1] Sartono kartodirjo, pengantar sejarah indonesia baru : sejarah pergerakan nasional dari kolonilisme – nasionalisme jilid 2, Gramedia pustaka utama, Jakarta, 1999. Hlm.17-19
[2] M.C Ricklefs, Sejarah indonesia modern, UGM Press, Yogyakarta, 1998. Hlm. 200-201
[3] Sartono Kartodirjo, Pengantar sejarah indonesia baru : 1500-1900 dari Emporium sampai imporium jilid 1, gramedia pustaka utama Jakarta, 1999. Hlm 333
[4] Marwati Djoened Poesponegoro, sejarah Nasional Indenesia V, jakarta, 2008, hlm. 9
[5] M.C Ricklefs, Sejarah indonesia modern, UGM Press, Yogyakarta, 1998. Hlm.212-213
[6] Sartono Kartodirjo, Pengantar sejarah indonesia baru : 1500-1900 dari Emporium sampai imporium jilid 1, gramedia pustaka utama Jakarta, 1999. Hlm 333-334
[7] M.C Ricklefs, Sejarah indonesia modern, UGM Press, Yogyakarta, 1998. Hlm. 210-211
[8] Ibid., hlm. 211

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah ilmu bebas nilai (filsafat ilmu)