Keuntungan Tanam Paksa dan Awal Kearah Pembaruan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Setelah bertahun
lamanya sistem cultuurstelsel ini berkembang di Indonesia mengerahkan kaum
pribumi untuk bekerja secara paksa, sistem yang dibuat dan dilaksanakan tidak
sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati, penyelewengan-penyelewengan yang
terjadi sangat merugikan rakyat.
Sistem tanam
paksa pada hakikatnya merupakan satu keping uang logam, disatu sisi tanam paksa
merupakan penyebab penderitaan rakyat pada selang waktu antara tahun 1830
hingga 1870, namun di sisi lain tanam paksa juga memiliki dampak positif
beserta segala manfataannya bagi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka kami
akan menguraikan apa-apa saja yang menjadi hal positif dari sistem yang telah
berjalan ini baik itu dari sisi belanda maupun segi positif bagi masyarakat
Indonesia. Sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai satu pengetahuan baru bagi kita, dan menghapus
perspektif buruk terhadap sistem cultuurstelsel ini.
BAB II
KEUNTUNGAN TANAM PAKSA
DAN AWAL KEARAH PEMBARUAN
A. Keuntungan
tanam paksa
Pemikiran Van
den Bosch mengenai cultuurstelsel tersebut tidak pernah dirumuskan secara
eksplisit, tetapi tampaknya sistem itu didasarkan pada suatu prinsip umum yang
sederhana. Desa-desa jawa menghutang pajak tanah kepada pemerintah, yang
biasanya diperhitungkan sebesar 40% dari hasil panen utama desa itu (biasanya
beras). Rencana Van den bosch ialah bahwa setiap desa harus menyisihkan
sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor (khususnya kopi, tebu, dan
nila) untuk dijual kepada pemerintahan kolonial dengan harga yang sudah pasti.
Dengan demikian maka desa akan mampu melunasi hutang pajak tanahnya, dan van
den bosch memperkirakan bahwa hasil panen 20% (kelak 33%) bumi desa tersebut
akan cukup memadai untuk tujuan ini. Apabila pendapatan desa dari penjualan
hasil panennya kepada pemerintah lebih banyak dari pada pajak tanah yang harus
dibayanya, maka desa itu akan menerima kelebihannya, namun jika kurag, maka
desa tersebut tetap harus membayar kekurangannya dari sumber-sumber lain.[1]
1.
Keuntungan
tanam paksa bagi Belanda
Bagi pihak belanda keuntungan tanam paksa ini sangat
luar biasa. Pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia (1830-1870) bagi negeri
Belanda telah mampu menghapuskan utang-utang internasionalnya bahkan menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia
untuk komoditi tropis (Fauzi, 1999:31). Dari pernyataan tersebut kita dapat
mengetahui betapa pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia ini telah
memberikan keuntungan yang melimpah bagi negeri Belanda, namun tidak halnya bagi
masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia, sistem tanam paksa telah
menimbulkan berbagai akibat pada masyarakat pedesaan utamanya berkaitan dengan
hak kepemilikan tanah dan ketenagakerjaan. Meskipun demikian, pelaksaan sistem
tanam paksa sedikit banyak juga telah memberikan nilai-nilai positif bagi
masyarakat di pedesaan.
Dengan sistem tanam paksa pemerintahan Hindia
Belanda menguasai produksi untuk ekspor serta memegang monopoli perkapalan dan
perdagangannya; meskipun semula hanya dimaksud sebagai usaha komplementer
dengan usaha swasta yang dijalankan oleh pengusaha perkebunan (Plantar).[2]
Sudah sejak tahun 1831 anggaran belanja kolonial
indonesia sudah seimbang, dan utang-utang lamaVOC dilunaskan. Uang dalam jumlah
sangat banyak dikirim ke negeri belanda, dari tahun 1831-1877 pebendaharaan
belanda telah menerima 832 juta Gulden. Sebelum tahun 1850kiriman uang tersebut
berjumlah sekitar 19% dari pendapatan negara belanda dan pada tahun 1851-60
kira-kira 32%. Pendapatan-pendapatan ini
membuat perekonomian dalam negeri belanda tetap stabil: hutang0hutang
dilunasi, pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan, terusan-terusan, dan
jalan kereta api negara dibangun, semuanya dengan keuntungan-keuntungan yang
diperas dari desa-desa jawa.[3]
Masa antara 1850 – 1870 merupakan periode masa
permulaan pertumbuhan industri Belanda. Pabrik-pabrik bertumbuhan dalam
berbagai cabang industry, bank – bank
didirikan dan pelayaran maju pesat sehingga seperti dikatakan dimuka, Amsterdam
kembali memegang peranan penting dibidang perdagangan seperti masa dulu; perdagangan internasional, perdagangan
transisto. Kemajuan ekonomi Belanda ditambah dengan kecenderungan makin
kuatnya pengaruh paham liberal yang
menganut politik ekonomi yang bertentangan dengan kaum konservatif, menyebabkan
masa 1850– 1870 dapat disebut sebagai masa perebutan pengaruh antara dua golongan tersebut.
Pertarungan dan kemenangan salah satu golongan
mempengaruhi politik ekonomi Belanda di Belanda sendiri dan di daerah jajahan.
Kaum liberal menganut prinsip tidak ada campur tangan pemerintah dalam ekonomi.
tugas negara adalah untuk memelihara ketertiban umum, menegakkan hukum agar
kehidupan ekonomi dapat berjalan lancar. Karena itu apa yang dilakukan
pemerintah Belanda selama ini di negeri jajahan harus diganti. Disamping itu,
pemerintah harus melindungi kepentingan rakyat agar jangan diekploitasi oleh
penguasa. Periode pertarungan tersebut yang kemudian dimenangkan oleh kelompok
liberal untuk daerah jajahan masa transisi atau masa permulaan ke periode liberal.
2.
Keuntungan
tanam paksa bagi daerah nusantara
a.
Di
bidang ekonomi
Dalam tanam paksa, jenis tanaman wajib yang
diperintahkan untuk ditanam adalah kopi, tebu, dan indigo. Dengan
diperkenalkannya tanaman-tanaman ekspor ini maka masyarakat dapat mengetahui
tanaman apa saja yang bernilai jual tinggi di pasaran internasional. Dengan
bertambahnya pengetahuan masyarakat tradisional tentang tanaman ekspor, maka
tentunya etos kerja masyarakat akan mengalami peningkatan.
Sistem tanam paksa dapat diibaratkan sebagai 1
keping uang logam, disatu sisi pelaksanannya telah memunculkan satu kerugian
bagi masyarakat pedesaan Indonesia, namun disisi lain sistem tanam paksa juga
memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia.
Dampak positif dari sistem tanam paksa itu sendiri
dapat dijabarkan sebagaimana berikut:
1.
Belanda
menyuruh rakyat untuk menanam tanaman dagang yang bernilai jual untuk diekspor
Belanda. Dengan ini rakyat mulai mengenal tanamn ekspor seperti kopi, nila,
lada, tebu.
2.
Diperkenalkannya
mata uang secara besar – besaran sampai lapisan terbawah masyarakat Jawa.
3.
Berkembangnya
industialisasi di pedesaan.
b.
Di
bidang sosial dan budaya
Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan
antara majikan dan petani kecil
penggarap sebagai budak, melainkan
terjadinya homogenitas sosial dan
ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. (Sartono ;
1987;321).
Pembayaran plantloon (upah tanam) sehabis
menyerahkan hasil tanaman wajib dapat dipandang sebagai penukaran tenaga dengan
uang, suatu langkah ke arah pemebebasan tenaga dari ikatan tradisional.[4]
Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal
oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong
terutama tampak di kota-kota pelabuhan
maupun di pabrik-pabrik gula.
Bagi kalangan elit bangsawan di seluruh jawa ini
merupakan suatu masa yang benar-benar menguntungkan. Kedudukan mereka menjadi
lebih aman dan penggantian secara turun temurun untuk jabatan-jabatan resmi
menjadi norma, terutama setelah dikeluarkannya ketentuan konstitusi
(regeringsreglement) tahun 1954. Mereka sering kali membuat keuntungan yang
besar dari pembayaran presentase atas penyerahan-penyerahan hasil bumi. Akan
tetapi mereka tergantung secara langsung pada kekuasaan belanda untuk kedudukan
dan penghasilan mereka, dan harus melakukan pemaksaan yang ternyata sangat
diperlukan bagi berfungsinya Cultuurstelsel.[5]
c.
Di
bidang politik
Perluasan jaringan jalan raya. Meskipun tujuannya
bukan untuk menaikan taraf hidup masyarakat Indonesia melainkan guna
kepentingan pemerintah Belanda sendiri, tetapi hal ini mencipatakan kegiatan
ekonomi baru orang Jawa dan memungkinkan pergerakan penduduk desa masuk ke
dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan uang.
B. Awal
kearah pembaruan
1.
Pengahapusan
tanam paksa dan awal kearah pembaruan
Ciri pokok sistem tanam paksa adalah pemungutan
pajak dari rakyat indonesia dalam bentuk hasil-hasil pertanian rakyat. Pos
terpenting dalam anggaran belanja pemerintah kolonial hindia belanda adalah pos
penutup, yaitu pos yang menutupi jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran
pemerintah kolonial. Terhitung dari tahun 1831 defisit anggaran pemerintah
mengalami surplus sebagai akibat berhasilnya sistem tanam paksa untuk
memperoleh penerimaan pemerintah yang melebihi pengeluaran pemerintah kolonial.
Pos penutup yang positif ini dijadikan patokan dan rujuan bagi keberhasilan
sistem tanam paksa sebagai suatu pengaturan kehidupan ekonomi di hindia belanda
yang diselenggarakan untuk mununjang dan meningkatkan tingkatan kemakmuran
negeri belanda. Pos atau saldo positif (Batig Slot) belanda di hindia belanda
ini, khususnya kebijakan pemerintah kolonial selama sistem tanam paksa
berlangsung antara tahun 1830 dan 1870.[6]
Sistem tanam paksa menimbulkan berbagai perubahan
dalam perikehidupan masyarakat jawa dengan beberapa akibat yang tidak
diinginkan, khususnya disintegrasi struktur sosial masyarakat Jawa.
Disintergasi ini disebabkan oleh makin meresapnya ekonomi dan lalu lintas uang
yang sebelumnya tidak dikenal dalam masyarakat jawa . perkembangan ekonomi dan
lalu lintas uang ini terutama disebabkan oleh meluasnya pekerjaan upah dan
penyewaan tanah para petani kepada pengusaha-pengusaha belanda yang dibayar dalam
bentuk uang.[7]
Selama penyelenggaraan Sistem tanam paksa keadaan
ekonomi Nederland mengalami perubahan, antara lain di samping modal perdagangan
sementara hasil saldo hasil ekspor indonesia untuk pasaran eropa timbul modal
untuk industri barang-barang yang dibuat oleh pabrik-pabrik Belanda untuk
dijual ke indonesia. Sementara itu dibidang politik, kaum liberal
memperjuangkan perdagangang bebas, maka dalam masa transisi (1850-1870) ada
proses timbal balik antara pertumbuhan ekonomi Nederland dengan penggeseran
dari kapitalisme komersial ke kapitalisme industri dan finansial pada satu
pihak dan pekembangan politik liberal di pihak lain. Perkembangan ini
mengakibatkan perubahan besar dalam pandangan pihak umum dan kaum politik
terhadap sistem tanam paksa sehingga
tercipta iklim politik yang baik yang memungkinkan langkah-langkah ke arah
penghapusan sistem tanam paksa.[8]
Walau bagaimanapun, golongan liberal, golongan
konservatif, dan lain – lain sependapat bahwa daerah jajahan harus
menyumbang/menguntungkan negeri induk terhadap daerah jajahan. Cuma dalam hal
tertentu seperti pemakaian tenaga kerja dan perbudakan, golongan liberal tidak
mau berkompromi dengan golongan konservatif. Kaum liberal menuntut agar tenaga
kerja jajahan diberlakukan sama dengan tenaga kerja di Belanda, karenanya
perbudakan dilarang mulai Januari tahun 1860.
Pandangan rakyat Belanda baru tergugah mengenai apa
yang terjadi di Indonesia (Jawa) setelah terbit buku yang berjudul “Max
Havelear” oleh Mul tatuli nama samaran E. Douwes Dekker, bekas asisten residen
Lebak. Dilengkapi oleh tulisan- tulisan Isaac Fransen Van der Putte (menjadi
menteri koloni 1863 – 1866) dan penganjur utama untuk menghapus sistem tanam
paksa, kecuali gula dan kopi, mengakhiri monopoli oleh pemerintah dan memajukan perdagangan bebas),
yang satu diantaranya berjudul The Regulation of Sugar Contracts in Java, maka
tanam paksa menjadi topic hangat di Belanda. Mulailah langkah – langkah ke arah
usaha bebas/usaha swasta menjadi nyata.
Puncak kemenangan golongan liberal adalah dengan
dikeluarkannya dua Undang – undang pada tahun 1870: (1) Undang – undang gula,
dan (2) Undang– undang Agraria. Yang pertama mengenai hapusnya Tanam Paksa
gula, secara bertahap sehingga satu– satunya jenis tanaman yang masih
dipaksakan adalah kopi yang berlangsung sampai 1 Januari 1917. Undang– undang
lainnya adalah mengenai pertanahan yang disebut undang– undang Agraria.
Walaupun banyak hal yang tidak jelas, namun dengan keluarnya undang– undang
ini, jelas mengenai mana hak milik pribumi dan negara serta aturan untuk
pengusaha swasta/tata cara pemilikan/penyewa tanah – tanah untuk berusaha di
Indonesia.
Dalam hal ini, tokoh belanda yang menetang
ekses-ekses sistem tanam paksa dan menganjurkan pembukaan indenesia untuk
swasta, seperti Baron van Hoevell dan Vitalis, berkeyakinan bawha perkembangan
usaha belanda akan meingkatkan kemakmuran rakyat indonesia. Dalam hal itu , di jawa penanaman paksa untuk
berbagai tanaman dagangan setelah tahun 1860 lambat laun mulai dihapuskan.
Penanaman paksa untuk lada dihapuskan tahun 1860 dan penanaman paksa untuk teh
dan nila dihapuskan dalam tahun 1865. Selain itu, gerakan liberalisme di negeri
belanda yang makin kuat juga memegang peran pokok dalam usaha penghapusan
sistem tanam paksa sekitar tahun 1870. Namun untuk beberapa tanaman dagangan
khususnya kopi, penanaman paksa masih tetap diperhatiakan sampai akhir abad ke
-19, bahkan dibebrapa daerah sampai awal abad ke-20.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pelaksanaan
sistem tanam paksa di Indonesia (1830-1870) bagi negeri Belanda telah mampu
menghapuskan utang-utang internasionalnya bahkan menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia
untuk komoditi tropis (Fauzi, 1999:31). Dari pernyataan tersebut kita dapat mengetahui
betapa pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia ini telah memberikan
keuntungan yang melimpah bagi negeri Belanda, namun tidak halnya bagi
masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia, sistem tanam paksa telah
menimbulkan berbagai akibat pada masyarakat pedesaan utamanya berkaitan dengan
hak kepemilikan tanah dan ketenagakerjaan. Meskipun demikian, pelaksaan sistem
tanam paksa sedikit banyak juga telah memberikan nilai-nilai positif bagi
masyarakat di pedesaan.
Dilihat dari
segi keberhasilan cultuur stelsel , maka
dari hasil yang didapat antara tahun 1840– 1874 itu 4/5 nya berasal dari kopi.
Gula menghasilkan $115 juta dan sisanya dari tanaman lain. Keuntungan dari kopi
karena kenaikan harga di Eropa.
Adapun
keuntungan dari adanya sistem tanam paksa ini bagi rakyat indonesia adalah :
1.
Rakyat
Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru
2.
Rakyat
Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang berorientasi ekspor
3.
Petani
Indonesia mengenal jenis-jenis tanaman baru serta cara merawatnya
4.
Petani
Indonesia mengetahui daerah-daerah yang cocok untuk jenis tanaman tertentu
5.
Petani
Indonesia mengetahui cara-cara mengolah tanah dan cara memanennya
[1] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (terjemahan
Drs. Dharmono Hardjowidjo), Yogyakarta, 1989, hlm. 183-184
[2] Sartono Kartodirdjo, Pengantar
sejarah indonesia baru : 1500-1900, UGM Press, 1999, hlm. 325
[3] M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (terjemahan
Drs. Dharmono Hardjowidjo), Yogyakarta, 1989, hlm. 187-188
[4] Sartono Kartodirdjo, Pengantar
sejarah indonesia baru : 1500-1900, UGM Press, 1999, hlm. 318
[5] M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (terjemahan
Drs. Dharmono Hardjowidjo), Yogyakarta, 1989, hlm. 186
[6] Marwati Djoened Poesponegoro, sejarah
Nasional Indenesia IV, jakarta, 2008, hlm. 368-369
[7] Marwati Djoened Poesponegoro, sejarah
Nasional Indenesia IV, jakarta, 2008, hlm. 370
[8] Sartono Kartodirdjo, Pengantar
sejarah indonesia baru : 1500-1900, UGM Press, 1999, hlm. 321-322
[9] Marwati Djoened Poesponegoro,
sejarah Nasional Indenesia IV, jakarta, 2008, hlm. 368
Komentar