Akulturasi dan Perkembangan Budaya Islam


Sejarah Indonesia Zaman Pengaruh Islam
“Kebudayaan Indonesia Akhir Abad ke-18”
“Seni bangun, Seni Sastra, Seni Ukir”

Kelompok 7



Nama Anggota Kelompok :
Alvani Maizal Asri (1306014)
Benigno Haryadi (97131)
Satria Oktavianus (1302117)



Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial


Universitas Negeri Padang



                                                                          BAB I
                                                                 PENDAHULUAN

            Manusia adalah makhluk yang mempunyai aktivitas dan kreativitas yang tinggi dalam usaha untuk memenuhi segala keperluan dan kebutuhan hidupnya. Semua kemampuan itu merupan ungkapan yang terjelma dari budi dan daya manusia. Maka tepat disebut bahwa semua hasil usaha, daya, kekuatan dan fikiran manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah suatu ungkapan budaya atau kebudayaan. Kebudayaan merupakan suatu pengertian yang mengandung makna yang sangat luas, yang merupakan suatu manifestasi serta implementasi dari buah pikiran, perasaan, watak, kehendak manusia yang dalam segala daya upayanya dapat memberi manfaat untuk hidupnya maupun kehidupan ornag lain atau masyarakat banyak.
Kebudayaan sebagai perwujudan ungkapan kreativitas dari berbagai aspek kehidupan manusia terdiri atas berbagai corak dan ragam yang bersifat material atau kebendaan maupun yang bersifat rohaniah. Kedua jenis bentuk kebutuhan manusia ini sejalan dan seimbang antara kehidupan batiniah/rohaniah dengan kehidupan lahiriah, yakni keseimbangan antara hal-hal yang bersifat keindahan dan spiritual dengan bersifat kebendaan.
Berbagai bangsa di dunia ini memiliki bentuk, corak dna ciri khas kebudayaan. Ini merupakan suatu tanda bahwa ciri manusia yang memiliki berbagai ragam buah pikiran, perasaan, dan kehendak yang tertuang dalam berbagai hasil karya seni yang indah, sehingga dengan demikian dapat mengenal ciri-ciri kebudayaan maupun kesenian suatu bangsa, yang satu sama lainnya memperlihatkan ciri maupun sifat-sifat tersendiri. Sifat maupun ciri kebudayaan dan kesenian suatu bangsa akan menentukan watak dan kepribadian bangsa itu sendiri.
Kesenian sebagai salah satu unsur universal kebudayaan dalam hal ini kebudayaan islam erat hubungannya dengan keagamaan tersebut. Dari segi pandang islam dengan berpedoman khidupannya pada al-qur’an dan hadist nabi Muhammad saw. Sesungguhnya kegiatan kesenian juga tidak dapat dipisahkan, kecuali yang bertentangan dengan akidah islam yang mengharamkan sikap yang mengarah kepada kemusyrikan. Pada pertemuan minggu ke 14 ini akan dibahas hanya pada seni bangun, seni sastra, dan seni ukir.
           
   
                                                                              BAB II
                                                                     PEMBAHASAN
Secara umum pengertian kesenian islam adalah segala hasil usaha dan daya upaya, buah pikiran dari dari kaum muslimin untuk menghasilkan sesuatu yang indah. Seni islam dapat juga diberi batasan sebagai suatu seni yang dihasilkan oleh seniman atau desainer muslim atau dapat juga berupa seni yang sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh semua orang muslim. Apabila disimak lebih baik dari pengertian seni islam yang sesuai dengan pandangan hidup muslim, terdapat 2 pengertian bahwa :[1]
1.      Hasil seni islam yang telah tercipta benda-benda seni maupun bangunan-bangunan yang bersifat ibadah, hendaknya memiliki konsep yang islami dan benar-benar dapat mengungkapkan pandangan hidup muslim.
2.      Seniman yang membuat, menciptkan dan mendirikan ataupun yang menghsilkan setiap benda-benda seni maupun bangunan ibadah tersebut boleh saja orang muslim  ataupun nonmuslim, asalkan tetap benpedoman pad aaturan dan pandnagan muslim.


     A.  SENI BANGUNAN
Seni bangunan merupakan cabang seni rupa yang memiliki peranan penting dalam perkembangan kesenian islam.
1.     Masjid
Dalam seni bangunan wujud akulturasi budaya Islam dan budaya tradisional Indoneesia yang paling menonjol ada pada bangunan mesjid. Bagi pemeluk Agama Islam, mesjid merupakan tempat suci bagi umat Islam untuk melakukan peribadatan. Mesjid yang ada di Indonesia memiliki ciri-ciriarsitektur yang berbeda dengan mesjid-mesjid di negara lain.
Masjid merupakan wujud seni bangun hasil islamisasi yang bersifat sakral. Dengan kehadiran islam dan terbentuknya komunitas muslim sejak abad ke-7 atau ke-8 di indonesia bagian barat, yaitu sekitar selat Malaka dan diteruskan dengan proses penyebarannya hingga terbentuk kerajaan islam samudera pasai sejak awal abad ke-13 M.
Bentuk masjid-masjid kuno yang dapat dilihat hingga sekarang meskipun sudah mengalami beberapa perbaikan adalah Majid Agung atau Masjid raya atau Masjid Jami’ di beberapa ibu kota kerajaan-kerajaan islam dari abad ke-16 – ke-18M. Masjid-masjid tersebut masih dapat dilihat ciri-ciri khasnya.[2]
Di ibu kota – ibu kota kerajaan islam di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lainnya dimana terdapat alun-alun, contohnya di Demak, Cirebon, Banten, Kota Gede, Surakarta, Yogyakarta, dna lainnya bangunan masjid agung itu ditempatkan sebelah barat alun-alun sebagai pusat keagamaan. Masjid agung Demak diperkirakan didirikan pada akhir abad ke-15 M yang mungkin ditandai oleh adanya gambar atau relief kura-kura pada diding mihrabnya yang diartikan sebagai sengkala memet 1401 saka (kepala = 1; kaki = 4; perut = 0; ekor = 1sehinhha bernilai 1401 Saka atau 1479 M).
Menurut Babad Demak, Babad tanah Jawi, dan babad babad lainnya, arsitek masjid agung demak adalah Suanan Kalijaga dan dikatakan pula bahwa beliaulah yang membetulkan kedudukan dan arah kiblat secara tepat serta membuat salah satu sakaguru dari tatal kayu sehingga dikenal dengan nama Saka tatal yang berada ditimur laut. Sakaguru di sebelah barat laut dibuat oleh Suanan bonang, sedangkan Sakaguru di Tenggara di buat oleh Sunan Ampel.
Masjid- masjid agung atau raya yang berasal dari abad ke 16-18 M yang terdapat di berbagai ibu kota kerajaan-kerajaan islam pada umumnya mempunyai ciri-ciri khas, yaitu :
  1. Denahnya berbentuk bujur sangkar atau persegi empat dan pejal atau masif.
  2. Atapnya bertumpang atau bersusun dua, tiga, lima, bahkan lebih.
  3. Dibagian depan atau samping terdapat serambi.
  4. Halaman masjid dikelilingi tembok dengan sebuah atau tiga buah gerbang.
  5. Diantara masjid-msjid itu dibagian depan atau samping terdapat kolam air.
2.     Keraton atau Istana
Bangunan pusat kerajaan atau kesultanan, tempat raja menetap. Pada masa Islam di Indonesia, keraton berperan penting baik sebagai pusat kekuasaan politik, juga berfungsi sebagai pusat penyebaran Agama Islam. Keraton atau istana yang dibangun pada masa Islam bercorak khas perpaduan unsur-unsur arsitektur tradisional, budaya Hindu-Buddha dan budaya Islam.
Pada atapnya yang tumpang dan pintu masuk keraton yang berbentuk gapura. Letak keraton biasanya dihubungkan dengan kepercayaan masyarakat, selalu menghadap ke arah utara, di sebelah barat ada mesjid, dan sebelah timur ada pasar, sebelah selatan alun-alun. Tata ruang seperti merupakan tradisi masyarakat prasejarah Indonesia yang disebut macapat. Di lapangan luas keraton terdapat pohon beringin besar.
Selain itu, istana selalu ada tanah lapang, alun-alun atau medan didepannya, demikian pula dengan hadirnya masjid di dekat atau depan istana. Kedua unsur  ini  adalah tempat untuk menampung khalyak dan yang berhak mengumpulkan serta mengendalikan orang dalam jumlah banyak hanya ada di tangan penguasa
Keraton atau istana dari zaman kerajaan-kerajaan islam di indonesia termasuk seni bangun islam. Keraton adalah suatu temapat yang bukan hanya tempat kediaman raja, tetapi sekaligus berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Di ibu kota kerajaan- kerajaan islam terutama di jawa lokasi istana derada disebelah selatan alun-alun menghadap arah utara. Keraton-keraton disurakarta dan yogyakarata dari abad ke-18 diapit oleh dua alun-alun, yaitu alun-alun utara (lor) dan alun-alun selatan (kidul). Menarik perhatian bahwa kedua alun-alun tersebut mempunyai fungsi yang berbeda; alun-alun utara (lor) berfungsi tempat pertemuan  masyarakat yang bersifat pemerintahan, tetapi alun-alun selatan (kidul) hanya berfungsi untuk upacara kematian seakan-akan mempunyai unsur tradisi kehinduan karena dewa Yama, yaitu dewa kematian itu berada diselatan.[3]
Keraton di jawa yang menghadap ke utara biasanya mempunyai 3 halaman, yaitu halaman ke-1, ke-2, dan halaman ke-3. Di halaman ke-1 itulah berdiri keraton atau dalem. Keraton terutama dalem itulah yang dianggap bersifat semisakral. Mungkin hal ini mengandung tradisi dari masa indonesia hindu/buddha yang menganggap keraton itu tempat dewa-raja yang di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya masih ada meskipun sebenarnya islam tidak mengenal kultus Dewa-Raja.
Keraton atau istana di Kerajaan Aceh Darussalam juga menurut berita asing terbagi atas tiga halaman. Halaman pertama baik untuk keraton maupun untuk kompleks makam biasanya diberi gerbang dalam bentuk candi-bentar seperi candi yang dibelah, dan antara halaman ke dua dan ketiga diberi gerbang yang disebut kori agung, bentuk gerbang yang bagian atasnya tertutup. Pada halaman ketiga sebelum memasuki keraton itu sendiri terdapat bangunan tempat penerimaan tamu yang disebut srimanganti.Setelah itu memasuki keraton menuju pendopo tempat rapat para pejabat pemerintahan kerajaan,dan ada pula tempat yang khusus untuk menghadap raja/sultan.[4]
3.     Makam
Makam adalah tempat peristirahatan yang terakhir dan abadi sehingga pembuatannya selalu diusahakan untuk menjadi perumahan yang sesuai dengan orang yang dikuburnya. Makam para sultan atau raja dan tokoh Agama dibangun seperti layaknya sebuah istana. Pada umumnya makam di kerajaan dibangun di lereng sebuah bukit, seperti komplek pemakam raja-raja keturunan Mataram di Imogiri Yogyakarta.
Makam khususnya untuk para raja bentuknya seperti istana disamakan dengan orangnya yang dilengkapi dengan keluarga, pembesar, dan pengiring terdekat. Budaya asli Indonesia terlihat pada gugusan cungkup yang dikelompokkan menurut hubungan keluarga. Pengaruh budaya Islam terlihat pada huruf dan bahasa Arab, misalnya Makam Puteri Suwari di Leran (Gresik) dan Makam Sendang Dhuwur di atas bukit (Tuban).
Pada umumnya pemakaman itu diusahakan letaknya diatas lereng sebuah bukit, tetapi banyak pula yang ditanah datar saja. Maka halaman-halaman yang menjadi bagian-bagiannya tadi disusun berundak-undak pada lereng atau berurut kebelakang  pada tanah datar. Makam-makam di Indonesia banyak di kunjungi orang apalagi jika makamnya dianggap keramat. Kunjungan ke makam itu disebut juga dalam agama islam, namanya “Ziarah”. Ziarah ini dilakukan terutama sekali terhadap makam ornag tua atau keluarga sendiri, dan maksudnya ialah untuk mengenang kebesaran tuhan dan untuk memanjatkan do’a agar arwah keluarga itu mendapat karuniaNya.[5]

B.  SENI SASTRA
Hasil-hasil seni sastra keagamaan islam yang banyak terdapat dalam naskah-naskah kuno terutama yang berasal dari masa penyebaran islam serta pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam di kepulauan Indonesia. Naskah-naskah kuno dan klasik itu jumlahnya beribu-ribu dan tersimpan di beberapa lembaga pemerintah maupun swasta baik didalam negeri maupun diluar negeri. Kandungan naskah-naskah itu tentang babad, hikayat, atau tambo kerajan-kerajaan, keagamaan islam mingenai fikh (syariat), tasawuf, dan tarekatnya, akidah, primbon, tafsir alquran, hadist nabi, dan lain-lain, dan naskah-naskah kuno dan klasik yang mengandung berlimpah informasi .[6]
Seni sastra Indonesia di zaman Islam banyak terpengaruh dari sastra Persia. Di Sumatra, misalmya menghasilkan karya sastra yang berisi pedoman-pedoman hidup, seperti cerita Amir Hamzah, Bayan Budiman dan 1001 Malam. Di samping itu juga mendapat pengaruh Hindu, seperti Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama. Cerita Panji pada zaman Kediri (Hindu) muncul lagi dalam bentuk Islam, seperti Hikayat Panji Semirang.
Hasil seni sastra, antara lain sebagai berikut :
a)      Suluk, yaitu kitab yang membentangkan ajaran tasawuf. Contohnya ialah Suluk Wujil, Suluk Sukarsa, dan Suluk Malang Sumirang. Karya sastra yang dekat dengan suluk ialah primbon yang isinya bercorak kegaiban dan ramalan penentuan hari baik dan buruk, pemberian makna kepada sesuatu kejadian dan sebagainya.
b)      Hikayat, yakni saduran cerita wayang. Sejumlah hikayat disini dapat kita kesampingkan yaitu bahannya diambil dari Mahabaratha , Ramayana, dan sebagainya. Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa).
Contoh Hikayat:
Hikayat Hangtuah : Hangtuah adalah tokoh sejarah ,yaitu laksamana armada kerajaan Malakka waktu masa jayanya. Ia adalah prajurit yang utama,barani serta pandai dan bijaksana,dan abdi sang raja yang sangat setia. Berkali-kali namanya kita jumpai dalam sejarah Melayu,dan selalu ia dikemukakan sebagai contoh teladan. Karena itu ia dijadikan bahan untuk serita-cerita yang ajaib serta mengagumkan.
Dalam hikayat ini,digambarkan sudah menjadi pahlawan dealam masa Gajah Mada(sekitar tahun 1350), mengenal kerajaan Wijayanegara di India waktu memuncak kejayaannya(sekitar tahun 1500) dan mengalami pula jatuhnya  Malakka dalam tahun 1511,bahkan juga direbutnya Malaka oleh Belanda dalam tahun 1641.
Hangtuah tidak meninggal melainkan gaib,setelah ia mengundurkan diri dari hidup kemasyarakatan dan menjadi petapa.Sebagai keramat ia masih sering kali menampakan diri kepada keturunannya. Demikianlah menurut ceritanya.
Hikayat raja-raja pasai : yang aslinya ditulis dalam huruf jawi sesuai dengan perkembangan bahasa melayu kuno masa kerajaan sriwijaya yang mendapat pembaharuan menjadi bahasa melayu klasik di kerajaan samudera pasai.
c)      Babad, ialah cerita sejarah yang baisanya lebih berupa cerita daripad auraian sejarah, meskipun yang menjadi pola memang peristiwa sejarah. Misalnya, (1) Babad Tanah Jawi isinya sejarah Pulau Jawa. (2) Babad Giyanti tentang pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Babad giyanti ini karangan Yasadipura, isinya meriwayatkan pecahnya kerajaan mataram dalam tahun 1755 dan 1757 menjadi surakarta dibawah pemerintahan Paku  Buwono III, Yogyakarta dengan dengan Hamengku Buwono I dan Mangkunegaran yang diperintah oleh Mangkunegoro I. Apa yang diauraikan dalam kitab ini adalah betul-betul sejarah, meskipun disana-sini ada juga tambahan yang dikarang sendiri oleh penulisnya.[7]
d)     kitab-kitab lain yang berisi ajaran moral dan tuntunan hidup, seperti:[8]
(1) Taj us Salati, isinya ajaran dan petunjuk ornag harus mengenal dirinya agar dapat mengalami asal serta Dzatnya sendiri. Bagaimana ornag mengenal tuhan,  bagaimana orang mengenal dunia dan bagaiman keadaan kehidupan manusia dan uraian tentang nafas terakhir waktu orang meninggal dan hal lainya. Adapun yang menghimpun kitab ini adalah Bukhari al-Jauhari dari Aceh dalam tahun 1603 M.
(2) Bustan us Salatin, kitab ini tidak hanya berisi ajaran-ajaran keagamaan dan kesusilaan, namun memuat juga sejarah yang dalam banyak hal dapat dipercaya. Penulisnya Nur ud-din ar-Raniri, seorang wali dari aceh atas peritah Sultan Iskandar II dalam tahun 1638 M. Bagian utama kitab ini meriwayatkan penciptaan bumi dan langit. Kemudian terdapat riwayat-riwayat para nabi dari Adam sampai Muhammad, para raja-raja mesir zaman Alexander Agung dan sebagainya.
Seni sastra islam berkembang di kerajaan Aceh Darussalam abad ke-16 M memuncak masa sultan iskandar muda dan sultan Tani pada abad ke-17 M. Hal itu dikarenakan kegiatan para ulama dan pemikir keagamaan islam seperti Al-jauhari, Hamzah fansuri, Syamsudin Al-smatrani dan lainya. Mereka membuat karya seni sastra islam kecuali dalam bahas arab juga banyak dalam bahasa melayu yang menggunakan huruf jawi yaitu huruf arab tertentu yang diberi tanda-tanda tertentu seperti harakat serta titik satu atau titik tiga dibawah atau diatasnya sesuai dengan fonem atau ucapan serta erjaan dalam bahasa melayu. [9]
Demikian pokok-pokok pemebicaraan mengenai seni sastra yang tumbuh dan berkembang karena kegiatan-kegiatan para ulama dan pemikir keagamaan islam dinusantara yang terutama berpedoman pada Al-qur’an dan Hadist Nabi Muhammad saw. Serta tradisi setempat.

C.  SENI UKIR
Dalam agama islam ada larangan (menurut hadist) untuk melukiskan suatu makhluk hidup, apalagi manusia. Untuk seni hias tidak ragu-ragu orang mengambil pola-polanya dari zaman purba, yang terutama sekali terdiri atas pola-pola : daun-daunan, bunga-bungaan(teratai), bukit-bukit karang, pemandangan , dan garis-garis geometri. Begitu juga halnya dengan gambar-gambar ular naga. Dengan datangnya maka tambahlah lagi satu pola yaitu huruf-huruf arab. Pola ini kerap kali digunakan untuk menyamar lukisan makhluk hidup (biasanya binatang) bahkan jug auntuk gambar wayang. Masjid-masjid juga bisa di hias dengan seni ukir ini, seperti masjid Mantingan dekat Jepara, berupa pigura-pigura yang tidak lagi pasti dari mana atau dari bangunan apa mula-mulanya, pigura-pigura itu kini dipasang pada tembok-tembok masjid. [10]
Mengenai ragam hias yang erat dengan penerapanya kepada seni bangunjuga pada benda-benda lepas lainnya. Seperti dalam kesenian islam terutama dalam kesenian Islam terutama dalam ragam hias yang paling lazim adalah Kaligrafi (khat) tulisan yang dibentuk indah. Kecuali kaligrafi pola-pola ragam hias islami sejak awal menyukai pola-pola yang di ambil dari dunia tumbuh-tumbuhan (floralistik) dan pola geometric. Islam pada masa awalnya tidak menyukai bahkan menyingkir I ragam hias yang mengambil dari dunia binatang maupun manusia atau makhluk hidup (Antropomorphik). Dalam perkembangan senjutnya mengenai penggambaran makhluk hidup ada dua pendapat, yaitu ada yang tetap berpegang kepada beberapa ayat tertentu dalam Al-Quran dan HYadist Nabi, Tetapi dalam perkembangan selanjutnya ada pula kelompok masyarakat yang mulai membuat lukisan, gambaran, hiasan bahkan pematungan dengan didasarkan bahwa lukisan gambaran makhluk hidup itu tidak menjadi objek pemujaan seperti berhala.
Ragam hias dan masa kerajaan-kerajaan Islam baik yang geometris maupun yang floralistik juga didapatkan pada berbagai barang seperti kain batik, benda-benda pusaka, dan benda-benda keperluan sehari-hari. Pada beberapa ragam hias batik bahkan ditambahkan hiasan antropomorfik seperti burung funix, gambar ular naga, dan lainnya. Menarik perhatian bahwa musyah Al-Qur’an kecuali hiasan kaligrafi juga ada beberapa musyah Al-Qur’an dari Cirebon terdapat hiasan yang disebut “ Macan Ali ”. Demikian pula ada beberapa naskah kuno diberi gambaran makhluk hidup seperti burung, ikan dan lainnya yang diperkirakan berasal dari pengaruh Tarekat Syattariyah. Dari berbagai ragam hias yang kita kenali dalam penggunaanya sering kali sudah bercampur antara ragam hias lokal dan yang berasal dari ragam hias Islam bahkan dengan ragam hias dari negeri lainnya.

BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kesenian islam yang berkembang disuatu daerah yang dikuasai islam, tidak sama dalam corak maupun sifatnya, melainkan berbeda-beda tetapi memiliki suatu ikatan dalam nafas kesenian dan kebudayaan islam.
Proses berkembangnya Agama Islam di Indonesia telah mempengaruhi corak dan kebudayaan Indonesia asli. Percampuran unsur-unsur budaya antara budaya Islam dan budaya asli Indonesia melahirkan akulturasi kebudayaan. Perwujudan akukturasi kebudayaan itu dalam bentuk seni bangunan dan arsitektur, seperti mesjid, keraton, nisan makam, seni tulis indah atau kaligrafi, dan seni sastra.




[1] Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam, Pertumbuhan dan Perkembangannya, Angkasa Bandung,1988, hlm.9
[2] Marwati dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, Balai Pustaka,2008, hlm.200
[3] Marwati dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, Balai Pustaka,2008, hlm.201
[4] Poesponegoro,MarwatiDjoeneddanNugrohoNugroho. SejarahNasional Indonesia,( 2008,.Jakarta:Balai Pustaka),hlm 202
[5] R.SoekmonoSejarah Kebudayaan Indonesia Jilid III.Jakarta:Kanisius.1985,hlm. 85
[6] Poesponegoro,MarwatiDjoeneddanNugrohoNugroho. SejarahNasional Indonesia,( 2008,.Jakarta:Balai Pustaka),hlm. 196
[7] R.SoekmonoSejarah Kebudayaan Indonesia Jilid III.Jakarta:Kanisius.1985,hlm.105
[8] R.SoekmonoSejarah Kebudayaan Indonesia Jilid III.Jakarta:Kanisius.1985,hlm.107
[9] Poesponegoro,MarwatiDjoeneddanNugrohoNugroho. SejarahNasional Indonesia,( 2008,.Jakarta:Balai Pustaka),hlm.197-198
[10] R.SoekmonoSejarah Kebudayaan Indonesia Jilid III.Jakarta:Kanisius.1985,hlm. 86-88

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EKSPANSI KOLONIAL KELUAR JAWA (1850-1870)

makalah ilmu bebas nilai (filsafat ilmu)