Indonesia Pada Masa ORDE BARU

PENGANTAR SEJARAH INDONESIA

 

TUGAS

Masa Orde Baru

 

 

 

Oleh:

Kelompok 1 :

Alvani Maizal Asri       (1306014)

Ayu Widya                    (1101691)

Fitriani                          (1205970)

Ismail                            (1106473)

Jesi Rahmawati Putri   (1205957)

 

 

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2015­­­

MASA ORDE BARU

A.    Kharakteristiknya

1.      Meliterisme

2.      Otoriter

3.      Terdiri dari 3 partai yaitu P3(Partai Persatuan Pembangunan), PDI(Partai Demokrasi Indonesia), dan Golkar(Golongan Karya).

4.      Pembangunan

5.      Transmigrasi Besar-besaran

 

B.     Naiknya Soeharto dan Konsolidasi Kekuasaan

1.      Periode Transisi dari Presiden Soekarno ke Mayjen Soeharto

Pada tanggal 20 Januari 1966 para menteri berkumpul di Istana. Mereka menyatakan sepakat menjadi bagian paling depan dari pendukung Soekarno. Itu merupakan bagian dari upaya pendukung Soekarno untuk come back, walaupun secara formal Soekarno masih Presiden-RI, pun secara formal pendukung terdepan masih Menteri Negara.  Namun Presiden Soekarno tidak melakukan follow-up, tidak ada tindak-lanjut dari pidatonya yang keras itu. Tidak ada perintah apa pun meski ia tahu pendukungnya sudah siap membela. Para pendukungnya pun tidak bergerak sebab dalam pidatonya Bung Karno antara lain menyerukan: tunggu komando…Seruan ini ditaati para pendukungnya. Dan komando ternyata tidak juga kunjung datang. Seandainya komando benar-benar diserukan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Indonesia.

Aksi mahasiswa memuncak pada tanggal 11 Maret 1965, pada saat itu sedang terjadi Sidang Kabinet di Istana Merdeka. Aksi ini berawal dari pidato Soeharto pada tanggal 10 Maret, isi pidatonya yaitu mengkritik kondisi negara yang tidak menentu, sedangkan para menteri tidak dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Merka hanya bicara di sidang-sidang, tidak melakukan tindakan kongkrit. Ia menyerukan: para mahasiswa dari Jakarta, Bandung dan Bogor untuk boleh saja berdemo di saat Sidang Kabinet yang akan diselenggarakan esok harinya (11 Maret 1966) di Istana Merdeka.[1]

Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana. Pasukan Kawal Presiden Cakrabhirawa berupaya menahan mereka di pagar Istana. Petugas sampai terpaksa meletuskan tembakan peringatan ke udara. Keadaan ternyata tidak mudah dikendalikan oleh Pasukan Kawal Presiden. Soeharto tidak hanya menggerakkan mahasiswa, namun juga memberi dukungan kepada mereka dengan mengerahkan tentara (belakangan saya ketahui tiga kompi RPKAD didukung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris). Tujuan mereka antara lain menangkap saya. Soeharto juga sudah setuju. Tentara mengenakan seragam loreng, bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal. Mereka bersama mahasiswa menyebar di jalanan yang akan dilewati oleh mobil menteri peserta sidang. Begitu melihat mobil menteri mereka langsung mencegat. Ban mobil digembosi. Istana pun dikepung sedemikian rupa. Pasukan tanpa tanda pengenal itu herhadap-hadapan dengan Pasukan Cakra Bhirawa dalam jarak dekat.

Namun pada sidang tersebut soeharto tidak datang, dengan alasan sakit batuk. Informasi sakitnya Soeharto ini disampaikan oleh Amir Machmud beberapa waktu kemudian. Menurut pengakuan Amir Machmud,  seusai mengikuti Sidang Kabinet  ia bersama Basuki Rachmat dan M Yusuf mendatangi rumah Soeharto. Soeharto sakit tenggorokan sehingga tidak dapat bicara keras. Saat kami datang ke rumahnya dia masih mengenakan piyama dengan leher dibalut, kata Amir Machmud. Tetapi seorang intelijen utusan Soebandrio melaporkan bahwa pada sore harinya Soeharto memimpin rapat di Makostrad.

Menurut analisis Soebandrio alasan kuat mengapa Soeharto tidak datang pada Sidang Kabinet tersebut, yaitu:[2]

a.      dalam keadaan Istana dikepung oleh mahasiswa dan tentara tentu dalam sidang Bung Karno akan bertanya kepada Soeharto: Harto, engkau yang telah kuangkat menjadi Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ayo bergerak. Bereskan pengacau-pengacau itu. Maka perintah Presiden itu bakal ibarat buah simalakama bagi Soeharto: dimakan ibu mati, tak dimakan bapak tewas.

b.      Jika Soeharto melaksanakan perintah, maka namanya bakal merosot di mata para demonstran yang ia gerakkan sendiri. Ini berarti peluang bagus bagi Nasution untuk tampil sebagai presiden.

c.       Jika Soeharto menolak perintah di depan Sidang Kabinet, maka bisa berakibat fatal bagi Soeharto. Tentu Bung Karno bisa segera memerintahkan Pasukan Cakra Bhirawa untuk menangkap Soeharto seketika itu juga.

Akhirnya cara terbaik bagi Soeharto untuk menghindari semua kemungkinan buruk itu adalah nyakit (pura-pura sakit). Bukankah ini membuktikan bahwa Soeharto licin dan pembunuh berdarah dingin? Ia tidak peduli bahwa tindakannya mengerahkan ribuan mahasiswa dan tentara bisa menimbulkan konflik besar yang menghasilkan banjir darah bangsanya sendiri.

Sidang Kabinet 11 maret 1966 dibuka oleh Presiden Soekarno. Saat kondisi genting sehingga Presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak. Melihat situasi di luar Istana akhirnya Presiden dengan di dampingi beberapa ajudannya menuju heli dan kemudian disusul oleh Soebandrio. Rombongan Presiden berangkat menuju Istana Presiden. Menjelang sore Istana Bogor didatangi oleh tiga Jenderal (Basuki Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf). Ketika itu tiga Waperdam (Soebandrio, Leimena dan Chaerul Saleh) sudah di sana. Leimena dan Chaerul menyusul Presiden ke Istana Bogor melalui jalan darat. Ketiga Waperdam menunggu di pavilium. Ketika tiga jenderal datang Bung Karno menerima mereka di gedung utama. Mereka berbicara cukup lama. Para Waperdam hanya siaga di paviliun. Beberapa jam kemudian Soebandrio, Chaerul dan Leimena dipanggil oleh Bung Karno masuk ke ruang pertemuan. Di sana ada tiga Jenderal tersebut. Namun saat tiga orang Waperdam masuk sudah ada kesepakatan antara ketiga Jenderal dan Bung Karno.[3]

Setelah ketiga Waperdam memasuki ruangan pertemuan Presiden dengan ketiga Jenderal. Lalu Presiden Soekarno memberikan surat yang dibawa ketiga Jenderal kepada Soebandrio. Isi surat itu adalah Presiden soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk:[4]

a.      mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu harus dijalin kerjasama dengan unsur-unsur kekuatan lainnya.

b.      Penerima mandat wajib melaporkan kepada Presiden atas semua tindakan yang akan dilaksanakan.

c.       Penerima mandat wajib mengamankan Presiden serta seluruh keluarganya .

d.      Penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno.

Setelah selesai dibaca oleh Soebandrio, kemudian Presiden Soekarno menanyakannya Waperdamnya berikut percakapannya menurut Soebandrio dalam ‘Kesaksianku tentang G30S’, Bagaimana Ban, kau setuju? Tanya Bung Karno. Beberapa saat saya diam. Saya pikir, Bung Karno sebenarnya hanya mengharapkan saya menyatakan setuju, padahal dalam hati saya tidak setuju. Bukankah Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI dan seharusnya kendali keamanan negara berada di tangan Presiden? Saya merasa Bung Karno sudah ditekan. Terbukti ada kalimat Mengamankan pribadi Presiden dan keluarganya, artinya keselamatan Presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut dikeluarkan. Tetapi kalimat unik ini tidak ada dalam sejarah versi Orde Baru. Bahkan lebih hebat lagi, naskah Supersemar yang membuat Soeharto ditunjuk sebagai pengemban Supersemar (menjadi presiden tanpa melalui proses pemilu dan dipilih MPR) kini sudah tiada. Tidak jelas keberadaan surat yang begitu penting.

Bagaimana, Ban, setuju? Tanya Bung Karno lagi.

Ya, bagaimana, bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami jawab saya. Lantas dipotong oleh Bung Karno: Tapi kau setuju?

Kalau bisa, perintah lisan saja kata saya memberanikan diri. Saya lirik, tiga jenderal itu melotot ke arah saya tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram mendengar kalimat saya yang terakhir itu. Tetapi saya tahu mereka tidak bisa berbuat banyak. Suasana saat itu terasa tegang.

Lantas Amir Machmud menyela: Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak.

Bung Karno rupanya sudah ditekan tiga jenderal itu saat berunding tadi. Raut wajahnya terlihat ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju.

Akhirnya saya setuju. Chaerul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken (tanda tangan). Tiga jenderal langsung berangkat kembali ke Jakarta menemui Soeharto yang mengutus mereka. Bahkan mereka menolak ketika ditawari Bung Karno untuk makan malam bersama. Maaf, pak. Karena hari sudah malam, ujar salah seorang dari mereka. Dengan wajah berseri mereka membawa surat bersejarah yang kemudian dinamakan Supersemar.

Pada tanggal 12 Maret 1966. Saat diumumkan juga dibacakan ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Enam hari kemudian 15 menteri yang masih aktif ditangkapi. Tentu saja Soeharto tidak melapor lebih dahulu kepada Presiden. Untuk pembubaran PKI, surat malah baru sampai ke tangan Soeharto tengah malam dan esok siangnya ia langsung mengambil kebijakan itu. Untuk penangkapan 15 menteri, alasannya adalah agar para menteri itu jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan rakyat yang tidak terkendali. Tetapi ia juga menyampaikan alasan yang kontradiktif yakni: para menteri hanyalah pembantu presiden, bukan bentuk kolektif pemerintahan. Jadi bisa saja ditangkap. Para menteri langsung ditahan dengan tuduhan terlibat G30S/PKI, tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat Indonesia sepanjang Soeharto berkuasa. Mengkritik kebijaksanaan pemerintahan Soeharto bisa dituduh PKI.

Tindakan Soeharto lansung ditanggapi Presiden Soekarno dengan memerintahkan Leimena untuk menemui Soeharto. Tetapi Soeharto hanya menjawab, “Pak Leimena jangan ikut campur, sekarang saya yang kuasa”. Leimena kembali ke Istana Bogor melaporkan reaksi Soeharto. Dan Presiden Soekarno terdiam, tetapi dari wajahnya kelihatan jelas bahwa beliau sedang marah. Dari laporan Leimena kami tahu bahwa saat itu situasi Jakarta sangat tegang, tank dan kendaraan lapis baja bersiaga di setiap ujung jalan, tentara ada di mana-mana. Mereka dikenali sebagai pasukan Kostrad dan Brigade Para 3 Yon Siliwangi. Kali ini untuk menakut-nakuti anggota PKI yang jumlahnya masih sangat besar saat itu. Mungkin pula ditujukan untuk memberikan tekanan psikologis terhadap Presiden Soekarno yang sudah kehilangan kuasa agar tidak menghalang-halangi pembubaran PKI atau mungkin juga ditujukan untuk kedua-duanya.[5]

15 menteri yang ditangkap adalah[6]:

a.      Waperdam-I merangkap Menlu, merangkap Kepala BPI Dr. Soebandrio

b.      Waperdam-II Chaerul Saleh

c.       Menteri Tenaga Listrik S. Reksoprojo

d.      Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Sumardjo

e.       Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat

f.       Menteri Bank Sentral dan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam

g.      Menteri Pertambangan Armunanto

h.      Menteri Irigasi dan Pembangunan Desa Ir. Surahman

i.        Menteri Perburuhan Sutomo Martoprojo

j.        Menteri Kehakiman Andjarwinata

k.      Menteri Penerangan Asmuadi

l.        Menteri Urusan Keamanan Letkol Imam Syafi’i

m.    Menteri Sekretaris Front Nasional Ir. Tualaka

n.      Menteri Transmigrasi dan Koperasi Ahmadi

o.      Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur Jakarta Raya Sumarno Sastrowidjojo

Dalam sidang MPRS Juni 1966 Soeharto menetapkan RI kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Juga memerintahkan mencabut Ketetapan MPRS tahun 1963 yang mengangkat Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Juga menyatakan pemberian gelar Pemimpin Besar Revolusi terhadap Bung Karno tidak memiliki kekuatan hukum.[7] Pada awal Juli 1966 Soeharto menyetujui Nasution menjadi ketua MPRS. Beberapa hari kemudian tepatnya 5 Juli 1966, MPRS mengeluarkan ketetapan: Soeharto selaku Pengemban Supersemar diberi wewenang membentuk kabinet. Maka dibentuklah Kabinet Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Kabinet baru ini tidak lagi berada di bawah kekuasaan Presiden Soekarno, namun sudah di bawah Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet[8]. Sejak itu secara formal berakhirlah pemerintahan Presiden Soekarno.

Melalui UU nr. 10 tahun 1966, DPRGR dan MPRS meminta pertanggung-jawaban Presiden atas peristiwa berdarah G30S. Menanggapi itu Bung Karno menolak, sebab menurut Presiden Soekarno, berdasarkan UUD 1945 yang harus dipertanggung-jawabkan mandataris MPRS hanya persoalan yang ada dalam GBHN. Sedangkan peristiwa G30S ada di luar GBHN yang berarti Presiden tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban.

Pada tanggal 17 maret 1967 MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa. Intinya: dikeluarkan Tap MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno dan secara resmi menyerahkan kepemimpinan nasional kepada Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai terpilih presiden oleh MPRS hasil pemilu yang akan datang. Dengan begitu Soeharto sudah benar-benar menggantikan Soekarno. Saat itulah Soeharto menegaskan bahwa tentara memiliki peran sosial politik yang tidak terbatas (kelak hal ini diterjemahkan menjadi Dwifungsi ABRI) dalam Negara. Saat itu pula ditetapkan bahwa Pancasila sebagai azas tunggal negara. Soeharto saat itu mulai menyusun kekuatan agar kekuasaan berada di satu tangan: tangan dia sendiri.

Sebaliknya, terhadap Presiden Soekarno, MPRS mengeluarkan keputusan sebagai berikut[9]:

a.      Presiden Soekarno dinilai tidak dapat memenuhi tanggung-jawab konstitusionalnya - Presiden Soekarno dinilai tidak dapat menjalankan Haluan Negara. Karena itu MPRS memutuskan melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sejak saat itu sampai dengan Pemilu yang akan datang

b.      Juga menarik mandat MPRS terhadap presiden yang diatur dalam UUD 1945 dan mengangkat pengemban MPRS nr. 9 sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Presiden Soeharto hingga terpilihnya presiden hasil Pemilu.

c.       Pjs Presiden tunduk dan bertanggung-jawab terhadap MPRS. - Persoalan hukum yang menyangkut Presiden Soekarno ditentukan sesuai hukum yang berlaku dan pelaksanaannya diserahkan kepada Pjs Presiden.

 

P-4 Gerakan Sosial Budaya

Kelahiran dan tumbuh kembang P-4 didorong oleh situasi kehidupan negara yang terjadi pada pertengahan tahun 1965. Orde Baru menilai bahwa terjadinya tragedi nasional, G-30-S pada tahun 1965, adalah karena bangsa Indonesia tidak melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Setelah bangsa Indonesia mampu mengatasi akibat dari gejolak yang ditimbulkan oleh gerakan G-30-S, serta telah mampu untuk menetapkan program pembangunnya, dirasa perlu untuk membenahi karakter bangsa dengan  mengembangkan sikap dan perilaku warganegara sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Dasarnya. Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat, dalam Sidang Umumnya, pada tanggal 22 Maret 1978 menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.[10] Dengan demikian pelaksanaan P-4 merupakan kehendak rakyat yang ditetapkan oleh MPR RI sebagai penjelmaan rakyat, yang wajib dipatuhi.

Apabila kita cermati bahwa penataran P-4 lebih dititik beratkan pada pembinaan moral bangsa yang esensinya adalah pengendalian diri. Seorang warga negara diharapkan mampu mengendalikan diri dalam segala aspek kehidupan, diperlukan toleransi yang tinggi, dan tidak mementingkan diri sendiri. Hanya dengan jalan ini maka kebersamaan akan terwujud dalam masyarakat yang pluralistik. Dalam rangka mengantisipasi gerakan globalisasi yang melanda dunia dan dalam mempersiapkan diri memasuki millennium ke-3, serta menghadapi tinggal landas pembangunan, penataran P-4 perlu ditingkatkan. Terbitlah Instruksi Presiden No 2 tahun 1994 tentang Peningkatan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila disingkat P2-P4. Intinya adalah bagaimana Pancasila sebagai ideologi terbuka mampu mengantisipasi tantangan zaman, dan bagaimana usaha untuk meningkatkan kesadaran warganegara akan hak dan kewajibannya sebagai pribadi, makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sebagai warga masyarakat, dan sebagai warga bangsa serta warga dunia.

C.    Kebijakan Pembangunan Bidang ekonomi

1.      Pelita I

Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.

Tujuan Pelita I             : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus

 meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap   berikutnya.

Sasaran Pelita I           : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat,

 perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.

Titik Berat Pelita I      : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk

mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses  pembaharuan bidang pertanian,

karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.

Pada repelita I ini investasi utama pemerintah lebih pada bidang usaha yang menghasilkan dampak paling besar seperti pertanian, infrastruktur ekonomi, serta perluasan Industri Eksport penggantiimport. Tiga perempat pembiyaan Replita I dari pinjaman luar negeri. Pada tahun 1972 utnag luar negeri meningkat dan membengkak hingga akhir periode.

Minyak merupakan fokus utama kebijakan ekonomi pemerintah, meskipun industri lain yang memerlukan modal intensif dan teknologi tinggi serta menghasilkan mineral dan karet juga berkembang pesat. Rencana ekonomi pemerintah tergantung pada pengendalian pendapatan minyak, yang berarti harus mampu mengendalikan Pertamina. Di bawah kepemimpinan Ibnu Suwoto, Pertamina telah tumbuh menjadi salah satu korporasi terbesar di dunia. Pertamina menghasilkan sendiri 28, 2% minyak nasional pada akhir tahun 1973 dan mengadakan perjanjian pembagian produksi dengan Caltex (menghasilkan 67, 8% minyak) dan Stanvac (3, 6%). Pertamina juga menguasai 7 kilang minyak Indonesia, terminal-terminal minyak, 116 kapal tangki, 102 kapal lainnya, dan sebuah maskapai penerbangan. Pertamina juga menanamkan modalnya di perusahaan semen, pupuk, gas alam cair, baja, rumah sakit, perumahan, pertanian padi, dan telekomunikasi, serta membangun kantor eksekutif kepresidenan (Bina Graha) di Jakarta.[11] Kenaikan harga minyak antara bulan November 1973 dan Juni 1974 meningkatkan penerimaan devisa bagi Indonesia lebih dari dua kali lipat.

 

2.      Pelita II

Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974  hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah antara lain:

a.       Tersedianya sandang pangan yang cukup dengan mutu yang baik dan terjangkau oleh rakyat.

b.      Tersedianya bahan – bahan perumahan dan fasilitas – fasilitas lain yang diperlukan rakyat.

c.       Keadaan sarana dan prasarana yang semakin luas.

d.      Keadaan kesejahteraan rakyat yang lebih baik dan merata.

e.       Meluasnya kesempatan kerja.

Untuk mencapai sasaran tersebut, produksi pada sektor pertanian meningkat sekitar 4,6% setahun, sekotor industri sekitar 13%, pertambangan 10,1%, perhubungan 10%, bangunan sekitar 9,2%, dan sektor – sektor lain sekitar 7,7%.[12]

Dalam pelaksanaannya ekonomi, pemerintah mendapat tantangan merosotnya kegiatan – kegiatan ekonomi negara industri. Sehingga menurunkan eksp[or Indonesia. Naiknya inflasi di negara Industri mempengaruhi harga – harga barang yang membantu pembangunan. Meskipun harga minyak naik namun hal ini tidak terlalu mempengaruhi. Namun disisi lain terjadi kenaikan Industri – industri kecil.  Dalam pembangunan Indonesia terdapat tiga sekotor yaitu : Sektor negara, sektor swasta, dan sektor koperasi.

Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.[13]

 

3.      Pelita III

Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan denganpenekanan lebih menonjol pada segi pemerataan yang dikenal denganDelapan Jalur Pemerataan, yaitu:

a.      Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan perumahan.

b.      Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.

c.       Pemerataan pembagian pendapatan

d.      Pemerataan kesempatan kerja

e.       Pemerataan kesempatan berusaha

f.       Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan

g.      Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air

h.      Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

Perekonomian pada periode ini masih sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan devaluasi November 1978, juga oleh resesi dunia yang sulit diramalkan kapan akan berakhir. Kebijaksanaan yang sifatnya mendukung kebijaksanaan November 1978 banyak dilakukan, khususnya yang bertujuan untuk memperlancar arus barang. Dalam periode ini kebijaksanaan tersebut dilakukan pada januari 1982. Inti dari kebijaksanaan ini adalah memberi keringanan persyaratan kredit ekspor, penurunan biaya gudang serta biaya pelabuhan. Disamping itu eksportir dibebaskan dari kewajuban menjual devisa yang diperolehnya dari hasil ekspor barang atau jasa kepada Bank Indonesia. Dengan perkataan lain eksportiers ekarang bebas memiliki devisa yang diperolehnya. Dibidang Impor juga diberikan keringannan bea masuk dan PPN impor untuk barang-barang tertentu. Kemudian dalam rangka meningkatkan ekspor, januari 1983 pemerintah memberlakukan kebijaksanaan imbal-beli (counter purches). Dibidang penerimaan pemerintah menaikan biaya fiskal keluar negeri dari Rp.25.000,- menjadi Rp. 150.000,-. Sementara itu dalam bidang perpajakan mulai diberlakukan pungutan atas dasar undang-undang pajak yang baru (1984)

Pertumbuhan perekonomian periode ini dihambat oleh resesi dunia yang belum juga berakhir. Sementara itu nampak ada kecendrungan harga minyak yang semakin menurun khususnya pada tahun-tahun terakhir Repelita III. Keadaan ini membuat posisis neraca pembayaran Indonesia semakin buruk. Untuk mengatasi ancaman ini, juga dalam rangka meningkatkan daya saing produk Indonesia, pemerintah memberlakukan devaluasi rupuah terhadap US$ sebesar 27,6% pada 30 maret 1983. Menghadapi ekonomi dunia yang tidak menentu, usaha pemerintah diarahkan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah, baik dari penggalakan ekspor mapun pajak-pajak dalam negeri. Untuk itu anggal 31 Maret 1983 pemerintah memberlakukan kebijaksanaan bebas visa dari 26 negara yang berkunjung ke Indonesia kurang dari 2 bulan. Maksudnya agar turis semakin tertarik mengunjungi Indonesia.

Pada akhir tahun Repelita III perkembangan yang terjadi di lingkup Internasional adalah bahwa nilai dollar menguat, tingkat bunga riil di AS menguat, dana mengalir ke AS, likuiditas Internasional meningkat dan semakin beratnya beban utang negara-negara yang sedang erkembang.[14]

 

4.      Pelita IV

Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Apa yang dialami pada periode Repelita III, ternyata masih dialami pada periode Repelita IV ini. Bahkan  nampak dan dirasakan adalah masalah tenaga kerja yang melaju pada tingkat kurang lebih 2,7% per tahun. Pada tahun 1983 jumlah tenaga kerja adalah 64 juta dan tahun 1988 diperkirakan akan menjadi 73 juta. Sementara angka pertumbuhan direncanakan hanya 5% pertahun selama Pelita IV.Di samping ciri-ciri pokok dan pola unit produksi juga merupakan hambatan bagi berkembangnya ekspor Indonesia, bahkan menghambat pertumbuhan secara keseluruhan.

Usaha-usaha untuk melanjutkan deregulasi pada periode ini semakin ditingkatkan dengan tujuan utama meningkatkan efisiensi mekanisme pasar, khususnya yang berkaitan dengan aspek moneter, kelancaran arus barang yang ada pada giliran berikutnya diharapkan dapat meningkatkan produksi (Inpres No.4/1985). namun dengan situasi Internasional yang tidak menentu pada tahun1986/1987 Neraca Pembayaran Indonesia menghadapi tekanan berat. Lebih-lebih karena turunnya harga minyak bumi. Untuk mengatasi ancaman itu, sekali lagi pemerintah memberlakukan kebijaksanaan devaluasi rupiah terhadap dollar AS sebesar 31% pada 12 September 1986. Tujuan utama devaluasi ini pada dasarnya untuk mengamankan neraca pembayaran selain untuk meningkatkan ekspor Indonesia, meningkatkan daya saing produk Indonesia dan mencegah larinya rupiah ke luar negeri. Namun harus diingat bahwa dengan devaluasi ini, jumlah hutang Indonesia semakin besar.

Pada tahun-tahun terakhir Repelita IV, perekonomian Indonesia semakin dibebani dengan meningkatnya hutang luar negeri sebagai akibat depresiasi mata uang dollar Amerika Serikat terhadap Yen dan DM kurang lebih sebesar 35%. Namun dalam situasi sulit seperti ini, APBN tahun 1987/1988 naik kurang lebih 6,6% di bandingkan dengan anggaran sebelumnya. Penyebab utamanya adalah bahwa negara minyak sudah meningkat pada tingkat rata-rata US$ 15 per barel. Yang juga sedikit menggembirakan adalah pada tahun 1987 ekspor non-migas telah dapat melampaui ekspor migas. oleh para pengamat naiknya ekspor non-migas ini disambut dengan dua pandangan. Di satu pihak beranggapan bahwa meningkatnya ekspor non-migas ini disebabkan karena deregulasi yang selama ini secara intensif dilakukan, namun pengamat yang lain berpendapat bahwa naiknya ekspor non-migas ini disebabkan karena depresiasi dollar Amerika terhadap Yen dan DM, karena ternyata ekspor indonesia ke Jepang dan Jerman Barat merupakan bagian tindakan kecil dari keseluruhan ekspor Indonesia. Pengamatan masih perlu dilakukan untuk menyusun kebijakan. Namun yang pasti bahwa target pertumbuhan sebesar 5% per tahun selama Repelita IV sangat sulit dicapai.

Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.[15]

 

5.      Pelita V

Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.

Tujuan dari Repelita V sesuai dengan GBHN tahun 1988 adalah pertama, meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat yang makin merata dan adil; kedua, meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pemangunan berikutnya.

Prioritas pembangunan sesuai dengan pola umum pembangunan jangka panjang pertama, maka dalam Pelita V prioritas diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada:

a.      Sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya;

b.      Sektor industri khususnya industri yang menghasilkan untuk ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, serta industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.

Sejalan dengan prioritas pada pembangunan bidang ekonomi, maka pembangunan dalam bidang politik, sosial-budaya, pertahanan keamanan dan lain-lain makin ditingkatkan sepadan dan agar saling menunjang dengan pembangunan bidang ekonomi sehingga lebih menjamin ketahanan nasional. Arah dan kebijaksanaan pembangunan dalam Repelita V mendasarkan pada arah dan kebijaksanaan pembangunan yang ditempuh selama Pelita IV dan arah itu perlu dilanjutkankan, bahkan ditingkatkan agar makin nyata dapat dirasakan perbaikan taraf hidup dan kecerdasan rakyat yang mencerminkan meningkatnya kualitas manusia dan kulitas kehidupan masyarakat demi terwujudnya kesejahteraan yang makin merata dan adil bagi seluruh rakyat. Pembangunan nasional di segala bidang harus diarahkan untuk makin memantapkan perwujudan wawasan nusantara dan memperkokoh ketahanan nasional.

 

6.      Pelita VI

Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.[16]

 

SUMBER:

Noor MS. . Bakrie. 1994. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Jakarta. Liberty.

M. C  Ricklefs.. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.

Poesponegoro. M & Notosusanto. N. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Jenkins. David. 2010. Soeharto dan Barisan Jenderal Orba : Rezim militer Indonesia 1975-1983. Jakarta.: Komunitas Bambu.

30 Tahun Indonesia Merdeka (1966-1975). 1979. Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Jimley Asshidique. 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dan Pelaksanaannya Di Indonesia. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Soebandrio. 2000. Kesaksian tentang G30S.

 

 



[1] Soebandrio, hal. 47

[2] Ibid  hal. 48

[3] Ibid hal. 50

[4] Ibid hal 50-51

[5] Ibid hal. 52

[6] Ibid hal. 53

[7] Ibid hal. 54

[8] Ibid hal. 55

[9] Ibid hal. 56

[10]  Noor MS. . Bakrie. 1994. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Jakarta. Liberty. hal. 183  

[11] Rickelfs M.C. 2010.  Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta. Serambi. Hal: 620-621

[12] Marwati Joened. Hal  : 582

[13] Jenkins. David. 2010. Soeharto dan Barisan Jenderal Orba : Rezim militer Indonesia 1975-1983. Jakarta.: Komunitas Bambu..  Hal : 123

[14] 30 Tahun Indonesia Merdeka (1966-1975). 1979. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Hal : 80

[15] Jimley Asshidique. 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dan Pelaksanaannya Di Indonesia. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve. Hal : 340

[16] Marwati Joened. Hal :700 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

EKSPANSI KOLONIAL KELUAR JAWA (1850-1870)

makalah ilmu bebas nilai (filsafat ilmu)