PERJUANGAN DIPLOMASI DAN BERSENJATA MASA PERANG KEMERDEKAAN : Lengkap
SEJARAH
INDONESIA KONTEMPORER
PERJUANGAN
DIPLOMASI DAN BERSENJATA MASA PERANG KEMERDEKAAN
DISUSUN
OLEH
KELOMPOK
3
DAVID
OKTAVIANUS
DICKY
IRAWAN
YENI
YANTI ERNASWITA
JURUSAN
SEJARAH
FAKULTAS
ILMU-ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
Perjuangan Diplomasi dan Bersenjata Pada Masa Perang
Kemerdekaan
A. Pengantar
Setelah memproklamasikan
kemerdekaannya bangsa Indonesia mendapat rintangan yang membahayakan
kemerdekaan tersebut. Untuk mempertahankan kekuasaan terhadap penjajah,
Indonesia menempuh berbagai cara, diantaranya dengan perjuangan diplomasi
hingga perjuangan bersenjata.
1.
Tatanan Kelengakapan Pemerintahan Negara (1945-1950)
Secara yuridis-formal bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) baru ada sejak dikumandangkanya proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan menggunakan sistem
kerja berlandaskan Konstitusional UUD 1945. Di dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (1)
dinyatakan bahwa “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk
Republik”.Pimpinan negara telah tersusun, UUD sudah diadakan.Presiden dan wakil
presiden sudah ditunjuk dan ditaati oleh seluruh rakyat.Kabinet-kabinetnyapun
sudah ada.Komite Nasional Indonesia (KNI) telah ada sebagai komite rakyat dan
komite kemerdekaan yang menggantikan komite-komite bentukan Gunseikanbu.Komite
ini dimaksudkan sebagai penghimpunan dan penyalur kehendak-kehendak rakyat
untuk membulatkan perjuangan.[1]
Pemimpin
politik Republik memanfaatkan para perwira yang dilatih Belanda dan Jepang
sebagai modal tentara mereka, dalam bentuk Badan Keamanan Rakyat. Pembentukan
tentara merupakan tahap pertama dalam penciptaan aparatur Negara. Badan
Perencanaan Kemerdekaan, kendaraan awal yang digunakan Soekarno, Hatta, Syahrir
dan Amir Sjarifuddin untuk mendirikan Republik, berdebat tentang bagaimana
mengorganisasikan tentara sebagai langkah penting dalam mendirikan Negara
Indonesia.[2]
Langkah-langkah
pertama untuk menjawab tuntutan proklamasi dilakukan. Ini antara lain terlihat
dari upaya pembentukan sejumlah lembaga kenegaraan melalui sidang-sidang resmi
PPKI pada tanggal 18-22 Agustus 1945, beberapa langkah dalam pembentukan
lembaga-lembaga paling utama ini, antara lain:
[3]
1. Pembentukan
Komite Nasional Indonesia (KNI) sebagai lembaga perwakilan sementara.
2. Pengangakatan
presiden dan wakil presiden disusul dengan pembentukan kabinet beberapa hari
kemudian.
3. Pembagian
wilayah RI dengan delapan daerah dan provinsi yang mula-mula di seluruh bekas
daerah Hindia-Belanda.
4. Pembentukan
Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai satu-satunya staatpartij (partai negara).
5. Pembentukan
kekuatan pertahanan dan keamanan rakyat, yaitu Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang
kemudian menjadi cikal-bakal pembentukan tentara reguler. Semua ini akan
menjalankan fungsinya sebagai badan penyelenggaraan Negara.
Soekarno diangkat sebagai presiden (1945-67) dan
Hatta sebagai wakil presiden (1945-56), karena para politikus Jakarta merasa
yakin bahwa hanya merekalah yang dapat berurusan dengan pihak Jepang. Seraya
menantikan pemilihan umum, yang dalam kenyataannya belum diselenggarakan juga
setelah sepuluh tahun, maka ditunjuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
untuk membantu presiden, dan komite-komite nasional serupa akan dibentuk di
tingkat provinsi serta keresidenan.
Orang-orang Indonesia yang menjabat sebagai penasihat pemerintahan (sanyo) dan
wakil residen diangkat sebagai pejabat Republik, sehingga pihak Jepang dapat
menyerahakan pemerintahan secara damai dan hati-hati kepada mereka tanpa
melakukan pelanggaran yang begitu mencolok terhadap syarat-syarat penyerahan
Jepang kepada pihak Sekutu.[4]
2. Kedatangan Tentara
Sekutu dan Perubahan Sistem Pemerintahan Negara (Triumvirat de facto)
Pendaratan
pertama pasukan Sekutu di Jakarta terjadi pada tanggal 14 September 1945, yakni
setelah enam minggu Perang Dunia II berkahir. Pasukan Sekutu yang berada di
bawah komando pasukan Mayor Greenhalgh diterjunkan di lapangan udara Kemayoran.
Belanda ikut disusupkan dalam pasukan itu. Selain wakil Greenhalgh dalam tim
perintis itu, yakni Letnan Mr. Baron van Tuyll van Seroskerken, ada tiga orang
personil militer Belada lainnya, masing-masing seorang dokter dan dua orang
komisaris. Tugas utama Greenhalgh dan timnya, “RAPWI Team”, adalah untuk
mempersiapkan pendaratan pasukan Inggris dan secepat mungkin menetapkan
kedudukan markas Sekutu di Jakarta.Pendaratan berhasil dengan mulus.[5]
Sehari
kemudian dua kapal perang sekutu (HMS Cumberland dan HMS Tromp) merapat di
Teluk Jakarta. Kapal perang tersebut mengangkut 800 pasukan Sekutu dari
skuadron penjelajah V Inggris, di bawah pimpinan Laksamana Muda W.R.
Patterson.Kapal itu merupakan bagian dari tiga Divisi Komando Sekutu yang
dikirim ke Indonesia. Pendaratan berikutnya dilakukan pada tanggal 28 September
1945, yang disusul dengan pendaratan kapal perang “Seaforth Highlanders” yang
mengangkut 500 pasukan mariner dan berlabuh di tempat yang sama. Satuan pasukan
Sekutu di Asia Tenggara (SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Earl Mountbatten,
kurang persiapan dalam melaksanakan tugasnya terutama karena kawasan yang
sangat luas setelah kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945.
Pada
tanggal 29 September 1945 Tentara sekutu Inggris mendarat di Jakarta di bawah
pimpinan Jenderal Christison. Pendaratan dan pendudukan sekutu kemudian
dilakukan di Padang, Medan dan Bandung 13 Oktober 1945. Pada tanggal 25 Oktober
1945 tentara Inggris mendarat di Surabaya. Segera terjadi kontak senjata antara
pemuda Indonesia dan tentara Inggris di kota itu.[6]
Sistem
pemerintahan awal yang digunakan oleh Indonesia adalah system pemerintahan
presidensial. Namun seiring datangnya sekutu dan dicetuskannya Maklumat Wakil
Presiden No.X tanggal 16 November 1945 terjadi pembagian kekuasaan dalam dua
badan yaitu kekuasaan legislative dijalankan oleh komite Nasional Indonesia
Pusat dan kekuasaan-kekuasaan lainnya masih tetap dipegang oleh presiden sampai
tanggal 14 November 1945. Maka kekuasaan eksekutif yang semula dijalankan oleh
presiden beralih ke tangan menteri sebagai konsekuensi dari dibentuknya system
pemerintahan parlementer. Pimpinan revolusi kemerdekaan Indonesia pun ada dalam
tangan ketiga pimpinan yang saling mendukung dan sering disebut triumvirat de
facto, Soekarno-Hatta-Sjahrir.
3.
Palagan-Palagan
Penting
Pihak
Indonesia menilai bahwa Sekutu melindungi kepentingan Belanda. Oleh karena itu,
kehadiran mereka ditentang yang dengan sendirinya menimbulkan
bentrokan-bentrokan bersenjata, bahkan di beberapa kota meledak menjadi
pertempuran.
a. Pertempuran
10 November Surabaya
Seperti
halnya di tempat-tempat lain di Jawa, situasi di Surabay sangat ditentukan oleh
faktor kebangkitan secara spontan gerakan pemuda revolusi. Gerakan pemuda
tersebut menyikapi situasi yang berkembang sekitar masa proklamasi, yakni
posisi lemah Jepang dan isu kedatangan
Sekutu yang diboncengi oleh serdadu Belanda. Tentara Inggris (Sekutu) mendarat
di Surabaya pada 25 Oktober 1945, namun sebelumnya pernah mendarat pada akhir
September 1945.Isu-isu tersebut telah mendorong pemuda Surabaya mempercepat
konsolidasi kekuatan mereka dalam “bersiap”.Pada 23 September 1945 sebuah
organisasi pemuda, yaitu Pemuda Republik Indonesia (PRI) didirikan.[7]
Pemuda kemudian bergerak menduduki Kompeitai Surabaya tanpa pertempuran, sebab
penguasa Jepang di Surabaya, Laksamana Madya Yaichiro Shibala, hampir tidak
menyembunyikan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia. Sebagian besar senjata
dan amunisi angkatan laut juga angakatn darat dengna mudah diserahkan sejak
minggu pertama bulan Oktober 1945.
Ketegangan
dan bentrokan pertama tidak datang dari pihak Sekutu, melainkan dari provokasi
serdadu Belanda.Kesalahan fatal yang dilakukan komandan Inggris di Surabaya yang
menyerahkan komando Sekutu kepada mariner Belanda, Kapten P.L.G Huijer dari
angkatan laut kerajaan Belanda.Huijer menganggap Sekutu memberi hati kepada
RI.Ia dan serdadunya mulai melakukan provokasi, padahal tugasnya hanya untuk
melakukan tindakan pendahuluan “mempersiapkan pendudukan Surabaya” oleh Sekutu.
Padahal sebelumnya Inggris menyatakan tidak terdapat tentara Belanda.[8]
Sementara
itu, pemimpin-pemimpin pemuda berupaya untuk melakukan konsolidasi di antara
unsur-unsur kekuatan revolusioner di Surabaya. Kelompok PRI yang mula-mula
dibentuk oleh Sumarsono dan kawan-kawan mengalami peubahan kepemimpinan pemuda,
berumur 25 tahun bernama Soetomo yang dengan cepat terkenal di seluruh Pulau
Jawa sebagai Bung Tomo (1929-1981) tampil sebagai pemimpin baru. Ia memperoleh
pendidikan baik dalam sekolah menengah Belanda.
Pada
akhir Oktober 1945, para ulama di Surabay menyatakan siap mempertahankan tanah
air Indonesia dengan perang sabil dan menyerukan semua muslim berkewajiban
untuk menjalankannya. Brigade India di bawah Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby
mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tanpa mengetahui banyak tentang yang
sedang dihadapinya, Mallaby dengan kekuatan 6.000 pasukannya disambut baik
dengan sikap bersahabat oleh para pemuda RI di Surabaya. Namun pada 27 Oktober
1945 tanpa sepengetahuan Mallaby, angakatan udara Inggris menyebarkan pamflet
di atas kota. RAF menuntut agar semua senjata Indonesia harus segera diserahkan
kepada Sekutu dalam tempo 48 jam.Jika itu benar, maka tindakan out merupakan tindakan
Huijer yang tidak senang dengan sikap lunak Inggris.
Bagi
pemuda, provokasi melalui pamflet RAF di tanggapi dengan kemarahan.Sasaran
utama mereka adalah kamp-kamp Brigade Inggris, beserta ribuan orang sipil
Belanda dan kaki tangan NICA.Atas jasa Mayor Jenderal Hawtrhorn, panglima
Sekutu untuk Jawa, presiden Soekarno ditemani oleh Moh.Hatta dan Menteri
Pertahanan Amir Sjarifuddin terbang ke Surabaya untuk meredakan suasana.Pada
tanggal 9 November 1945, ketika semua tawanan ditarik dari Surabaya, Mallaby
mengadakan inspeksi untuk memastikan jalannya gencatan senjata. Namun ia
terkena tembakan dan terbunuh.
Mayjen
Manserg, panglima Devisi Infanteri India ke-5, mengeluarkan ultimatum yang
menuntut agar semua senjata Indonesia diserahkan sebelum jam 06.00 pada hari
berikutnya dan supaya orang Indonesia yang bertanggung jawab atas tewasnya
Mallaby diserahkan. Namun pemuda memutuskan untuk menolak ultimatum itu dan
pada pukul 23.00 malam Gubernur Soerjo mngumumkan melalui radio. Keputusannya
adalah Surabaya akan melawan sampai titik darah penghabisan.
Pada
pukul 06.00 pagi pada 10 November 1945 serangan Inggris dimulai, sementara Bung
Tomo memanggil rakyat kota untuk bangkit melawan penyerbu. Pertempuran yang
ganas dan kejam terus berlangsung selama lebih dari tiga mingggu.Pemuda
Indonesia dengan menggunakan senjata bamboo runcing dan belati bergerak
menyerang tank-tank Sherman milik Sekutu, susul-menuyusul serangan dengan
serangan Sekutu yang lebih terorganisir dan efektif dengan senjata mesin.
Sekutu akhirnya berhasil merubut dua pertiga dari kota setelah 3 hari
pertempuran terjadi. Pertempuran di Surabaya jauh lebih hebat daripada
perlawanan rakyat Indonesia di mana pun.[9]
b. Pertempuran
Bandung (Bandung Lautan Api)
Pasukan Inggris bagian dari Brigade McDonald tiba di
Bandug pada tanggal 12 Oktober 1945.Sejak semula hubungan mereka dengan
pemerintah RI setempat sudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api
yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahka kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru
dibebaskan dari kamp-kamp tawanan mulai melakukan tindakan yang menganggu
keamanan.Akibatnya bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat di
hindari.Tiga hari kemudian McDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa
Barat agar Bandung utara di kosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan
bersenjata.Ultimatum harus dilaksanakan paling lambat pukul 12.00 tanggal 29
November 1945.Dengan demikian, Inggris membagi Bandung menjadi dua bagian,
bagian utara dikuasi Inggris (Sekutu) sedangkan selatan dibawah RI.
Ultimatum di jawab pasukan Indonesia dengan
mendirikan pos-pos gerilya di berbagai tempat.Selama berlangsungnya
pertempuran, banyak serdadu India yang merupakan bagian dari pasukan Inggris,
melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Indonesia.Salah satu di antarnya
adalah Kpaten Mirza dan pasukannya ketika terjadi pertempuran di jaln Fokker
(sekarang jalan Garuda) pada pertengahan Maret 1956.
Pada tanggal 24 Maret 1946, Inggris menyampaikan
ultimatum kepada Perdana Menteri Syahrir agar selambat-lambatnya pukul 24.00
tanggal 24 Maret pasukan Indonesia sudah harus meninggalkan Bandung Selatan
sejauh 10 sampai 11 km dari pusat kota. Syahrir mendesak agar Jenderal A.H
Nasution agar memenuhi ultimatum tersebut.Sebab, Syahrir berpendapat bahwa TRI
belum mampu menghadapi Inggris.
Dalam pertemuan yang diadakan Nasution dengan para
komandan TRI, para pemimpin laskar, dan aparat pemerintahan dicapai kesepakatan
untuk membumihanguskan Bandung sebelum kota itu ditinggalkan.[10]
4.
Persetujuan
Linggajati
Setelah
konferensi Hoge Valuwe pada bulan April 1946 gagal mencapai hasil yang
diharapkan, perundingan diplomatic antara Belanda dan Indonesia diteruskan lagi
dengan focus pada dua masalah utama, yaitu masalah gencatan senjata dan
perundingan politik.
Pada
tanggal 2 Mei 1946 van Mook kembali membawa usul pemerintahannya yang terdiri
atas 3 butir pokok:
1. Pemerintah
Belanda mengakui Republik Indonesia sebagai bagian dari persemakmuran
(gemeenebest) Indonesia yang berbentuk federasi (serikat).
2. Negara
Indonesia Serikat di satu pihak akan terdiri dari Nederland, Suriname, dan
Curacao, namun di lain pihak akan merupakan bagian dari kerajaan Belanda. \
3. Pemerintah
Belanda akan mengakui de facto
kekuasaan RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera, dikurangi dengan daerah-daerah
yang diduduki oleh tentara Inggris dan Belanda.
Usul Belanda di tolak oleh pemerintah RI melalui
usul balasan tanggal 17 Juni 1946, karena usul Belanda di anggap tidak
mengadung sesuatu yang baru. Mereka pun mengajukan dalam 3 butir pokok berikut:[11]
1. Republic
Indonesia berkuasa de facto atas
Jawa, Madura, Sumatera, ditambah dengan daerah-daerah yang dikuasai oleh
tentara Inggris dan Belanda.
2. Republik
Indonesia menolak iakatn kenegaraan (apa pun bentuknya, seperti persemakmuran, rijkverband,
koloni, trusteeship territory, atau federasi) dan menghendaki agar Belanda
menghentikan pengiriman pasukan Belanda ke Indonesia, sedangkan pemerintah RI
tidak akan menambah pasukannya.
3. Menolak
suatu periode peralihan dibawah kedaulatan Belanda.
Untuk sementara waktu, perundingan kembali
menggantung dan deadlock (macet). Perundingan pada periode ini, terutama pada 2
tahun pertama penyelesaian konflik
Indonesia dengan Belanda merepresentasikan kecenderungan klasik dengan dua
tokoh protagonisnya, yaitu van Mook di pihak Belanda dan Syahrir di pihak RI.
Masing-masing berangkat dengan padangan dan keyakinan berbeda. Van Mook
dengan pendirian kolonialisme
pasca-Perang Dunia II ingin merestorasi kekuasaan colonial di Indonesia.
Sebaliknya Syahrir dengan pendirian nasionalisme keindonesiaannya mendambakan
Indonesia yang Independen dan menolak segala bentuk perwujan warisan colonial,
seperti persemakmuran, federasi (serikat), ataupun Uni Belanda Indonesia.
Rakyat Indonesia dan seluruh dunia menyaksikan bahwa
Belanda tidak bersungguh hati untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
isi pers Belanda dan siding-sidang serta berbagai keputusan parlemennya enjadi
bukti yang tidak meragukan lagi mengenai hal ini. Sikap tentaranya di Indonesia
yang sementara it uterus mengalir ke Indonesia.mereka mencemoohkan republic,
menginjak-injak bendera republic, mereka melanggar perjanjian status Quo,
melanggar genjatan senjata. Di Bogor mereka menangkapi pegawai dan polisi
republic, memperluas daerah pendduduk mereka keluar garis status quo. Mereka
melakukan berkali-kali pemboman di Palembang dan Medan, menyerbu dalam daerha
republic, mendduduki Krian, Sidoardjo dan Modjokerto. Mereka terus memperkuat
tentaranya. [12]
Pada bulan Juli 1946 terjadi perubahan konstelasi
politik hasil pemilu 17 Mei 1946.Belanda memiliki kabinet baru. Perdana Menteri
terpilih adalah L.J.M Beel dari Partai Rakyat Katolik yang sejak semula
menentang keras kebijakan perundingan yang diambil oleh van Mook, sehingga ia
nyaris dipecat. Pemerintahan baru Belanda membentuk Komisi Jenderal yang
anggotanya terdiri atas Schermerhorn sebagai ketua, van Pol dan de Boer sebagai
anggota, serta Sanders sebagai sekretaris jenderal. Van Mook karena jabatannya
(ex-officio) turut dalam komisi itu.Ia diberi wewenang untuk bertindak sebagai
wakil khsusus pemerintah tertinggi dan diberi tugas mempersiapkan pembentukan
“orde politik baru Hindia Belanda”. Tugas utamanya yaitu secepatnya memulai
perundingan lanjutan dengan RI.Pada tanggal 14 September 1946 komisi itu bertolak
ke Jakarta dengan dua sasaran, yaitu perundingan gencatan senjata dan
perundingan politi.Hasilnya ialah perundingan Linggajati yang di paraf pada
tanggal 15 November 1946 sampai menunggu pengesahan di parlemen Belanda.[13]
Linggajati dipilih sebagai tempat perundingan
setelah delegasi Belanda menolak Yogyakarta sebagai tempat perundingan,
sedangkan Soekarno dan Hatta tidak dapat menerima Jakarta sebagai tempat
perundingan.Perundingan tahap pertama dimulai pada 7 Oktober 1946 di
Jakarta.Mengenai gencatan senjata sudah dimulai pada 7 Oktober 1946. Setelah
melalui debat panjang, akhirnya dapat dicapai persetujuan pada tanggal 14
Oktober dengan unsur-unsur pokok sebagai berikut:
1. Delegasi
Indonesia, Inggris dan Belanda mengadakan gencatan senjata atas dasar kedudukan
militer pada waktu kini dan atas dasar kekuatan militer.
2. Disetujui
pembentukan Komisi Gencatan Senjata yang bertugas untuk menimbang, memutuskan
pelaksanaan gencatan senjata dan pengaduan terhadap pelanggarnya.
3. Komisi
Gencatan Senjata bertugas sampai 30 November 1946.
4. Disetujui
bersama membentuk subkomisi teknis yang terdiri atas para kepala staf militer
Inggris, Indonesia, dan Belanda.
Perundingan tahap kedua diadakan di Linggajati,
Kuningan, di kaki Gunung Ceremai, Cirebon. Pasal-pasal persetujuan dibahas
kembali dan direncanakan alasan-alasan yang akan diusulkan. Perundingan hari
berikutnya berjalan sangat tidak lancer dan berlangsung hampir sembilan jam.
Ada dua hal yang tidak dapat dicapai kesepakatan, yaitu:
1. Syahrir
mendesak supaya Belanda menerima usul
bahwa RI mempunyai wakil-wakilnya sendiri di luar negeri. Ia berusaha
meyakinkan Belanda bahwa perwakilan ini terkait pada diakuinya RI secara de facto, yang sudah disetujui oleh
pihak Belanda.
2. Belanda
menginginkan agar Negara Indonesia Serikat merupakan Negara yang “merdeka”
tetapi Syahrir bersikeras agar Negara Indonesia Serikat merupakan Negara yang
berdaulat.[14]
Perundingan pun kembali mengalami kemacetan. Akan
tetapi ketika delegasi Belanda dan RI berkunjung ke Kuningan untuk melibatkan Soekarno
dan Hatta, tanpa Kehadiran Syahrir, van Mook menanyakan kepada presiden
Soekarno apakah bila hal itu diterima oleh pihak Belanda, maka perubahan kata
“merdeka” menjadi “ ”berdaulat” dapat disetujui dalam Rancangan Perjanjian
seluruhnya. Atas pertanyaan itu Seokarno menjawab dengan nada antusias bahwa ia dapat
menyetujuinya. Syahrir agaknya kecewa setelah mendapat berita Soekarno sudah
menyetujui Rancangan Perjanjian Linggajati, padahal soal perwakilan RI di laur
negeri belum diputuskan. Namun Syahrir tetap tunduk kepada keputusan presiden
dan menyetujuinya.
Perundingan tahap ketiga berkenaan dengan
penyelesaian naskah Perjanjian Linggajati pada tanggal 15 November
1946.Pertemuan terkahir anatar kedua delegasi berlangsung di Instana
Rijswijk.Malam itu juga, 15 November 1946, perundingan Linggajati diakhiri
dengan pidato perpisahan dari Lord Killearn yang mewakili Inggris.Setelah itu
tentara Inggris meninggalkan Indonesia. Pada tanggal 15 November 1946 itu juga
naskah Linggarjati diparaf di Jakarta. Pada tanggal 20 Desember 1946 Tweede
Kamer di negeri Belanda menerima naskah itu dengan 65 lawan 30 suara. [15]
Belanda tegas bermaksud untuk tetap menggenggam Indonesia,
seperti terbukti diatas. Mereka melakukan siasat perjuangan yang rapi teratur,
yang dapat mengikat dan mengalahkan Republik sector demi sector, sambil
memperoleh jaminan bahwa perang gerilya rakyat tidak akan meletus secara umum
dan luas. Mereka membuka front yang dikoordinir oleh satu tangan berdasarkan
satu siasat yakni untuk menaklukan Republik sedangkan disisi lain Republik
melakukan siasat yang sendiri-sendiri di sector politik, militer tanpa pimpinan
dan pokok siasat yang satu atau sama.[16]
Belanda membuka empat front dimana mereka dapat
mencapai kemajuan terus menerus, yaitu:[17]
1. Genjatan
senjata menjamin posisinya pada saat yang kritik pada waktu pergantian tentara
Inggris dan menjamin keamanannya untuk menyusun pangkalan-pangkalan ofensifnya
di Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang dan Surabaya
serta menjamin terhindarnya mereka dari gerakan umum dan serentak dari pihak
Indonesia.
2. Mereka
mengajukan komisi-Jenderalnya untuk berdiplomasi dengan Republik, mengikat
Republik dan memaksanya menerima lepasnya Kalimantan dan Indonesia Timur,
menerima federasi, menerima Uniie di bawah raja. Pemerintah epublik praktis
sepenuhnya terlibat dalam diplomasi.
3. Mereka
menyusun terus suatu angkatanperang, lebih kurang 150.000 tentaranya siap
menyerbu Republik pada saat yang akan dimatangkan oleh diplomasi.
4. Mereka
membentuk berbagai gerakan separatis dan macam-macam Negara boneka untuk
memperkecil daerah Republik dan mengepungnya di sector politik. Gerakan
separatis ini tidak terbatas di Kalimantan dan Indonesia Timur saja, melainkan
juga di Jawa dan Sumatera seperti partai rakyat pasundan yang dengan hebat
digerakannya di Bogor.
Pada
30 November 1946 tentara Inggris ditarik seluruhnya dari Indonesia. pada 25
Maret 1947 naskah Persetujuan Linggarjati ditandatangani oleh kedua belah pihak
di Istana Merdeka Jakarta. Akibat dari persetujuan Linggarjati itu ialah
Inggris mengakui Indonesia de facto secara terbatas dan mengakui de facto
Republik Indonesia. Pada 17 April oleh Amerika Serikat. Pada 1 Juni 1947 diakui
oleh Mesir, 29 Juni 1947 oleh Lebanon, pada 2 Juli 1947 oleh Suriah dan 16 Juli
1947 oleh Irak.[18]
5.
Agresi
Militer Belanda I
Dalam
melaksanakan Persetujuan Linggarjati itu timbul banyak kesukaran: Belanda
berpendapat bahwa sebelum Negara Indonesia Serikat dibentuk, hanya Belanda lah
yang berdaulat di seluruh Indonesia, sedang pemerintah RI sebaliknya
berpendapat bahwa sebelum Negara Indonesia Serikat dibentuk maka kedudukan de
facto RI tidak berubah.[19]
Pihak
Belanda terang-terangan menginjak-nginjak persetujuan Linggarjati itu dengan
menagadakan serangan dan membentuk Negara boneka. Pada tanggal 29 Juni 1947
Belanda mengajukan usul yang bersifat ultimatum yakni supaya RI mengakui
kedaulatan Belanda di Indonesia. timbullah keadaan yang tegang dan suasana
menjadi sangat genting. Pada malam 20 Juli 1947 menjelang tanggal 21 Juli
Belanda mulai menyerang Republik Indonesia dari segala arah dengan mengerahkan
Angkatan Darat, Laut dan Udaranya. Belanda berdalih bahwa serangan itu hanyalah
sekedar tindakan kepolisian belaka. Namun serangan itu dilancarkan oleh seluruh
angkatan perang Belanda. Serangan yang telah menimbulkan korban jiwa dan harta
benda rakyat itu adalah suatu peperangan yang didesakkan kepada bangsa
Indonesia. tindakan kemiliteran dengan serangan membabi buta itu dilayani oleh
TNI dan rakyat dengan senjata yang apa adanya dan dengan tekad sekali merdeka
tetap merdeka!. Walaupun Belanda berhasil menduduki kota-kota namun pasukan
kita melakukan perang gerilya terus menerus menggempur kota-kota itu sehingga
tentara Belanda menderita kerugian.
6.
Persetujuan
Renville
Pada 7 Juli 1947 Setiadjit sebagai
wakil perdana menteri dalam cabinet Amir Sjarifuddin pergi ke Jakarta membawa
jawaban pembalasan untuk membuka kembali perundingan. Pada tanggal 14 Juli 1947
PM Amir Sjarifuddin pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Van Mook. Pada
tanggal 20 Juli 1947, Van Mook menyatakan bahwa ia merasa tidak terikat lagi
dengan persetujuan Linggarjati dan perjanjian genjatan senjata.[20]
Pada tanggal 21 Juli 1947 tentara
Belanda melancarkan Clash I terhadap RI. Segala alat militernya di darat, laut
dan udara dipergunakannya untuk menghantam daerah RI. Pada tanggal 29 Juli
1947, Dakotta palang merah India ditembak pesawat pemburu Belanda di atas kota
Jogya. Laksamana Muda udara Adi Soetjipto dan Abdurrachman Shaleh gugur.
Inggris menawarkkan jasa baiknya.
Pada tanggal 31 Juli 1947 soal
Indonesia-Belanda diajukan oleh India dan Australia kepada dewan keamanan PBB.
Wakil Belanda Mr. Van Klevens menyangkal hak dewan keamanan mencampuri urusan
Indonesia, karena hal itu semata-mata urusan inter Belanda sendiri. Pada
tanggal 1 agustus 1947 Dewan Keamanan menyerukan kepada Belanda dan Indonesia
untuk menghentikan tembak menembak. Pada 4 Agustus 1947 Panglima Tertinggi
Angkatan Peerang RI memerintahkan kepada seluruh Angkatan Perang RI supaya
tetap tinggal di tempatnya masing-masing dan menghentikan segala tindakan
permusuhan.
Pada 5 Agustus Sutan Sjahrir bersama
haji agus salim tiba di New York dan dibantu oleh tambu, pegawai tinggi RI.
Kira-kira seminggu sesudah iitu delegasi RI diterima menjadi anggota Dewan
Keamanan selama perkara Indonesia-Be;anda dipersoalkan, sedangkan orang-orang
Indonesia yang dikirim Belanda untuk memperkuat delegasinya ditolak. Pada
tanggal 17 agustus 1947 terjadi chease
fire order, berdasarkan keputusan dewan keamanan, dikeluarkan oleh kedua
belah pihak.
Kemudian pada 25 Agustus 1947 Dewan
Keamanan menerima sebuah putusan yang berisi antara lain :[21]
a.
Para konsul asing di
Jakarta supaya membuat laporan mengenai keadaan terakhir di Indonesia
b.
Membentuk sebuah komisi
yang terdiri dari tiga Negara. Komisi tiga Negara yang bertugas memberikan
perantaraan jasa-jasa baik dalam menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda.
Kelanjutan dari keputusan itu ialah Indonesia
memilih Australia yang akan duduk dalam KTN, Belanda memilih Belgia. Australia
dan Belgia memilih Amerika Serikat sebagai Negara ketiga dalam KTN. Pada
tanggal 26 Oktober 1947 mereka tiba di Jakarta. Anggota dari Amerika adalah
Frank P.Graham, anggota dari Australia Richard Kirby dan anggota dari Belgia
Paul van Zieeland.[22]
Pada 1 november 1947 Dewan Keamanan menyerukan
supaya kedua pihak mengadakan perundingan dengan bantuan KTN. Pembukaan resmi
perundingan antara Indonesia-Belanda diadakan pada 6 Desember 1947 di kapal
perang Amerika Renville yang disaksikan oleh KTN. Perundingan-perundingan itu
akhirnya menghasilkan Persetujuan Renville yang ditandatangani pada 17 Januari
1948.
Isi persetujuan Renville itu adalah[23]
1. Pemerintah
RI mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang
ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat.
2. Di
berbagai daerah di Jawa, Madura dan Sumatra diadakan pemungutan suara untuk
menentukan apakah daerah-daerah itu mau masuk RI ataukah mau masuk Negara
Indonesia Serikat.
Akibat
persetujuan ini adalah
a. Daerah
RI yang dengan persetujuan Linggarjati terbatas pada Sumatera , Jawa dan Madura
lebih diperkecil lagi.
b. TNI
yang masih ada di Jawa Barat dipindahkan ke daerah RI di Jawa Tengah;
anggota-anggota TNI yang ingkar kemudian menjadi bibit gerombolan D.I-T.I.I di
Jawa Barat.
c. Pertentangan
politik dalam negeri makin meruncing terutama karena Belanda menjalankan
politik devide et impera dengan mendirikan Negara-negara boneka.
Pada 17 januari 1948 diatas kapal
Renville kepunyaan USA ditandatangani naskah persetujuan oleh delegasi RI yang
dipimpin oleh PM.Amir Sjarifuddin dan delegasi Belanda oleh R.Abdulkadir
Widjojoatmotdjo.[24]
Dalam rangka pelaksanaan perjanjian
Renville tanggal 18 Januari 1948 maka pada tanggal 6 Februari 1948:[25]
1. Colonel
kawilarang, komandan Brigade II divisi Siliwingi di pihak Indonesia , berunding
dengan colonel Thompson di pihak Belanda tentang pemindahan pasukan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dari daerah Bogor, dihadiri oleh Kolonel Morrizon,
peninjau militer Komisi Tiga Negara.
2. Letnan
Kolonel Sukanda di pihak Indonesia berunding dengan Kolonel Thompson dan
Kolonel Meyers dari pihak Belanda di Paku, Bogor, tentang pemindahan pasukan
TNI.
3. Dilangsungkan
perundingan ketiga pihak di Mojokerto tentang pemindahan pasukan TNI dari Jawa
Timur
Kesimpulan
Sejak
diproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia bergerak
mengisi Kemerdekaan dan mengatur pemerintahan, menyusun alat-alat
perlengkapaannya serta melaksanakan pembangunan dalam segala bidang. Namun saat
mengisi kemerdekaan tersebut rakyat dan pemerintahan Indonesia mendapat
tantangan yang membahayakan kemerdekaan tersebut. Berbagai cara pun ditempuh
untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut diantaranya melalui diplomasi dengan
beberapa perundingan seperti Linggarjati dan Renville serta cara yang ditempuh
dengan perlawanan bersenjata seperti pertempuran Surabaya dan Bandung Lautan
Api.
Daftar Pustaka
Hatta,
Mohammad. 2011. Menuju Gerbang
Kemerdekaan. Jakarta: Buku Kompas.
Imran, Amrin dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 6: Perang
dan Revolusi. PT Ichtiar Baru van Hoeve kerjasama dengan Kemendikbud.
Kansil, C.S.T dan Julianto. 1968. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Nasution, A. H.. 1978. Sekitar Perang Kemerdekaan II : Diplomasi
atau Bertempur. Bandung: Angkasa.
Nasution,A.H. 1978. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia IV :
Periode Linggarjati. Bandung: Angkasa Bandung.
Poesponegoro, Marwati Djoned dan
Nugroho Notosusanto (Eds). 2008. Sejarah
Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda
(±1900-1942). Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs,
M.C. 2009. Sejarah Indonesia Modern
1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Toer, Pramoedya Ananta, dkk. 2003. Kronik Revolusi Indonesia jilid IV.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Vickers,
Adrian. 2011. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
[1] A. H. Nasution. 1978.
Sekitar Perang Kemerdekaan II : Diplomasi
atau Bertempur. Bandung: Angkasa,
hlm 90.
[2] Vickers, Adrian. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
hlm 162.
[3] Imran, Amrin dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 6: Perang
dan Revolusi. PT Ichtiar Baru van Hoeve kerjasama dengan Kemendikbud, hlm
130.
[4] M.C. Ricklefs. 2009. Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, hlm 449.
[5] Imran,
Amrin dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah
Jilid 6: Perang dan Revolusi. PT Ichtiar Baru van Hoeve kerjasama dengan
Kemendikbud, hlm 196
[6] Kansil,
C.S.T dan Julianto. 1968. Sejarah
Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Erlangga, hlm 47
[7]Imran, Amrin dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 6: Perang
dan Revolusi. PT Ichtiar Baru van Hoeve kerjasama dengan Kemendikbud,
hlm 205.
[8] Poesponegoro, Marwati
Djoned dan Nugroho Notosusanto (Eds). 2008. Sejarah
Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa AKhir Hindia Belanda
(±1900-1942). Jakarta: Balai Pustaka, hlm 188.
[9]Imran, Amrin dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 6: Perang
dan Revolusi. PT Ichtiar Baru van Hoeve kerjasama dengan Kemendikbud,
hlm 209.
[10]Poesponegoro, Marwati
Djoned dan Nugroho Notosusanto (Eds). 2008. Sejarah
Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda
(±1900-1942). Jakarta: Balai Pustaka, hlm 201-202.
[11]Imran, Amrin dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 6: Perang
dan Revolusi. PT Ichtiar Baru van Hoeve kerjasama dengan Kemendikbud,
hlm 222.
[12] Nasution,A.H. 1978. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia IV :
Periode Linggarjati. Bandung: Angkasa Bandung, hlm 272
[13]Imran, Amrin dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 6: Perang
dan Revolusi. PT Ichtiar Baru van Hoeve kerjasama dengan Kemendikbud,
hlm 224.
[14] Imran, Amrin dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 6: Perang dan Revolusi. PT
Ichtiar Baru van Hoeve kerjasama dengan Kemendikbud, hlm 226.
[15] Hatta, Mohammad. 2011. Menuju Gerbang Kemerdekaan. Jakarta: Buku Kompas, Hlm 139
[16] Nasution,A.H. 1978. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia IV :
Periode Linggarjati. Bandung: Angkasa Bandung, Hlm 273
[17] Ibid
[18] Hatta, Mohammad. 2011. Menuju Gerbang Kemerdekaan. Jakarta: Buku Kompas, Hlm 144
[19] Kansil, C.S.T dan Julianto. 1968.
Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan
Indonesia. Jakarta: Erlangga, hlm 49
[20] Hatta, Mohammad. 2011. Menuju Gerbang Kemerdekaan. Jakarta: Buku Kompas, Hlm 145
[21] Kansil, C.S.T dan Julianto. 1968. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan
Indonesia. Jakarta: Erlangga,Hlm 50
[22] Hatta, Mohammad. 2011. Menuju Gerbang Kemerdekaan. Jakarta: Buku Kompas, Hlm 146
[23] Kansil, C.S.T dan Julianto. 1968. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan
Indonesia. Jakarta: Erlangga,Hlm 50
[24] Hatta, Mohammad. 2011. Menuju Gerbang Kemerdekaan. Jakarta: Buku Kompas, Hlm 146
[25] Toer, Pramoedya
Ananta, dkk. 2003. Kronik Revolusi
Indonesia jilid IV. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hlm 14
Komentar