POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA INDONESIA DI ERA ORDE BARU : ASEAN, GNB, G. 7, OKI, AFTA, APEC, OPEC

Makalah Sejarah Indonesia Kontemporer

Mengenai

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA INDONESIA DI ERA ORDE BARU

 


 


Oleh:

Kelompok 1

ALVANI MAIZAL ASRI

EKI ENDRO

EKY PERMATA INDRA

FANESA ZAHARA

HELSA RAHMADHANI

SOFIA RANI

 

 

JURUSAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2016

PEMBAHASAN

  1. Landasan dan Pelaksanaan dalam Perjalanan Sejarah Pemerintah RI

Perlu ditekankan di sini bahwa setelah “kudeta 1965”, militer yang direpresentasikan oleh Jenderal Soeharto, menjadi pengambil keputusan yang paling penting, baik dalam politik dalam negeri maupun luar negeri Indonesia. Tidak seperti Soekarno, Soeharto lebih menaruh perhatian pada masalah pembangunan ekonomi dan mempertahankan hubungan persahabatan dengan pihak Barat. Pemerintahan baru, di bawah kepemimpinannya, memperkenalkan kebijakan pintu terbuka di mana investasi asing ditingkatkan, dan bantuan pinjaman dibutuhkan untuk merehabilitasi ekonomi Indonesia. Dalam periode ini, Indonesia menaruh perhatian khusus terhadap soal regionalisme. Para pemimpin baru Indonesia menyadari pentingnya stabilitas regional untuk menjamin keberhasilan rencana pembangunan Indonesia.[1]

Politik luar negeri Indonesia selama Orde Baru dijalankan berdasarkan prinsip dasar yang telah ditetapkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yakni “…ikut melaksanakan ketertiban dunia atas dasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. pelaksanaan prinsip dasar politik luar negeri adalah wewenang dan tugas pemerintah yang berkuasa. Sejak Adam Malik mengumumkan di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat pada April 1966, bahwa “Politik luar negeri Indonesia diabdikan untuk kepentingan nasional melalui pembangunan nasional, maka operasionalisasi hubungan luar negeri Indonesia didasarkan pada pemikiran bahwa politik luar negeri Indonesia di ajang Internasional akan disegani dan dihormati apabila Indonesia menjalankan pembangunan nasional atas dasar persatuan dan kesatuan politik yang demokratis, pemeliharaan keamanan dan ketertiban dalam negeri yang memadai, dan pemerataan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[2]

Dalam bidang luar negeri, penyelewangan terhadap politik bebas-aktif telah terjadi dengan dicetuskannya manifesto politik Republik Indonesia. Untuk menghindari terulangnya kembali pengalam pahit masa lalu itu tugas dan kewajiban politik luar negeri Orde Baru adalah mengoreksi semua penyelewengan pada masa demokrasi terpimpin. Berdasarkan kenyataan itu, MPRS sebagai lembagga kenegaraan tertinggi telah menegaskan kembali landasan kebijakan politik luar negeri Indonesia.

Dalam ketatapan MPRS No. XII/MPRS/1966, Mengenai penegasan kembali landasan kebijaksanaan luar negeri RI dinyatakan bahwa politik bebas aktif bertujuan “mempertahankan kebebasan Indonesia terhadap imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya dan menegakkan ketiga segi kerangka tujuan revolusi, yaitu :

1.      Pembentukan satu Negara Republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan dan Negara kebangsaan yang demokratis dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Marauke.

2.      Pembentukan satu masyarakat yang adil dan makmur materil dan spiritual dan wadah Negara kesatuan Republic Indonesia itu.

3.      Pembentukan satu persahabatan yang baik antara RI dan semua Negara di dunia, terutama sekali dengan Negara afrika dan asia atas dasar kerja sama mebentuk satu dunia baru yang bersih dari imprealisme dan kolonialisme menuju kepada perdamaian dunia yang sempurna.[3]

Sesuai dengan kepentingan nasional , politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas dan aktif tidak dibenarkan memihak pada salah satu blok ideologi yang ada. Politik bebas bukanlah politik yang netral, melainkan suatu Negara tidak memikat diri dari pada salah satu blok ataupun paktor militer. Tujuannya ialah mempertahankan kebebasan indonesia terhadap imprealisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Sejak tahun 1967, pelaksanaan politik luar negeri yang bebas dan aktif telah diterapkan secara konkret dalam menggapai masalah-masalah internasional yang timbul, seperti masalah Vietnam, Timur Tengah, dan lain –lain. Menlu Adam Malik menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dituntut oleh realitas yang ada di dunia luar. Sikap pemerintah Indonesia telah memperoleh pengertian positif dari luar negeri.[4]

Politik bebas aktif di zaman Orde Baru harus memberikan tekanan utama dibidang ekonomi, dan oleh karena itu diutarakan bahwa “ sebagai konsekuensi logis, diplomasi yang dijalankan adalah diplomasi ekonomi atau dapat disebut sebagai diplomasi pembangunan. Dalam rangka mensukseskan diplomasi baru tersebut berbagai instansi pemerintah bekerja sama dalam mengambil kebijaksaan yang titik beratnya ditujukan terhadap segala usaha yang menunjang segala usaha yang menunjang keberhasilan Repelita.

Sesuai dengan ketentuan politik luar negeri yang bebas aktif terus mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

1.      Aktif kembali dalam semua organisasi internasional seperti ECAFE, UNCTAD, ABD dan badan-badan khusus PBB lainnya.

2.      Membicarakan dengan Negara-negara kreditor lainnya mengenai penundaan utang-urtang, terutama dengan Negara blok sosialis yang masih mengasingkan diri dari Paris Club.

3.      Menyelesaikan pengembalian perusahaan asing yang masa Orde Lama telah dikuasi pemerintah Indonsia.

4.      Tetap mengambil prakarsa dalam pengusahaan penanaman modal asing di Indonesia dengan syarat-syarat yang menguntungkan kedua belah pihak.

5.      Lebih menginfestasikan perdagangan dengan luar negeri.[5]

Orde Baru memiliki dua landasan yaitu; landasan tetap yang tidak berubah-ubah dan landasan yang bersifat situasional. Landasan tetap yang tidak berubah-ubah tentu saja tidak dapat dilepaskan dari landasan idiil yaitu falsafah dan ideologi Negara Pancasila dan landasan konstitusional yaitu undang-undang dasar 1945.[6]

  1. Indonesia dan Kerjasama Regional

(ASEAN, GNB, G. 7, OKI, AFTA, APEC, OPEC)

1.      Association of South East Asian Nations (ASEAN)

Ketika politik dalam negeri sudah bisa dikendalikan dengan baik, arah kebijakan asing ditetapkan, dengan ASEAN (Association of South East Asian Nations) sebagai landasan regional.[7]  Ketika Soeharto duduk dalam kekuasaan di tahun 1966, ia menghentikan konfrontasi dengan Malaysia dan mulai menunjukkan pada dunia terutama terhadap Barat, bahwa ia akan meninggalkan kebijakan Soekarno yang agresif. Ia yakin bahwa, dengan stabilitas politik, ia akan dapat membangun ekonomi Indonesia melalui investasi asing dan bantuan asing. Perhatian utama dari elite yang baru adalah pada upaya untuk menciptakan stabilitas politik di wilayah regional, khususnya di antara negara-negara ASEAN non-Komunis. ASEAN, sebagai suatu organisasi regional, akan menjalankan tujuan ini.[8]

Seperti halnya SEATO dan Konferensi Bandung (KAA) dilahirkan oleh situasi menajamnya konflik Perang Dingin; dan ASA serta MAPHILINDO dilahirkan oleh meningkatnya pertentangan “inter-regional” antara Malaya dengan Filipina dan Indonesia mengenai masa depannya Kalimantan Utara dan dekolonisasi-policy-nya Inggris sebagai sisa kekuatan “ekstern-regional”, maka ASEAN dilahirkan oleh desakan-desakan berbagai kekuatan “inter-regional” dan “ekstern-regional”, setelah perubahan dramatis di Indonesia pada tahun 1965, dan lebih meningkatnya ketertiban dan partisipasi militerisme Amerika dalam peperangan Vietnam.[9]  

Dua perkembangan pokok di bidang politik dan di bidang ekonomi dunia telah membawa ke pemikiran pembentukan satu badan regional di kalangan negara-negara Asia Tenggara yang harus dapat menampung dan menyerap kedua perkembangan tersebut. Atas dasar pemikiran itulah lahir ASEAN di Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967.[10] ASEAN yang dibentuk bulan Agustus 1967 tersebut oleh Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina untuk memajukan kerja sama ekonomi dan budaya di antara negara-negara yang antikomunis sewilayah.[11] Pembentukan ASEAN berdasarkan Deklarasi Bangkok oleh kelima negara tersebut.[12] Pertemuan pertama dihadiri oleh Adam Malik; Menlu Indonesia sebagai perwakilan Indonesia, Wakil Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak, Menlu Filipina Narciso Ramos, Menlu Thailand Thanat Khoman dan Menlu Singapura S. Rajaratnam. Kelima Menlu ASEAN sekaligus merupakan konseptor dari Deklarasi Bangkok itu telah berhasil memanifestasikan kebijaksanaan bersama negara-negara ASEAN.

Para konseptor Deklarasi Bangkok berpendapat bahwa negara-negara di Asia Tenggara harus memikul bersama tanggung jawab untuk memperkuat dan membina kestabilan ekonomi dan sosial kawasan tersebut; juga berkewajiban untuk menjamin berkembangnya pembangunan nasional dengan aman. Mereka bertekad untuk menjaga kestabilan dan keamanan kawasan dari segala gangguan dari luar dalam bentuk apapun, dalam rangka memelihara kepribadian nasional masing-masing.

ASEAN adalah wadah, alat dari bangsa-bangsa Asia Tenggara untuk mencapai tujuan masing-masing dalam konteks perdagangan dan kesejahteraan dunia. ASEAN bukan pakta militer, ASEAN dibentuk demi ketahanan dalam mencapai kesejahteraan. ASEAN adalah wadah kerjasama sosial ekonomi dan budaya. Perkembangan dunia internasional, turut menentukan orientasi ASEAN. Dua tahun setelah didirikan, Presiden Nixon menyerukan kepada bangsa-bangsa Asia untuk mengambil alih tanggung jawab pertahanan di kawasan masing-masing. Nixon mengharapkan agar ASEAN merupakan inti dari kekuatan tersebut. Seruan Nexon tersebut kemudian disebut juga sebagai “Doktrin Nixon”.[13]

Dalam pembukaan “Deklarasi Bangkok: itu dirumuskan dasar-dasar pemikiran dan cita-cita serta tujuan kerja sama regional tersebut. Gagasan ini pertama kali dicetuskan oleh wakil Thailand dan Indonesia secara bersamaan, dan kepada Indonesia diminta untuk menyusun “rencana” kerja sama regional tersebut (rencana yang dimaksud menambah anggota ke dalam kerja sama regional). Untuk keperluan itu, pihak Indonesia menghubungi semua negara-negara Asia Tenggara, guna memperoleh bahan-bahan yang selengkap mungkin.[14]

Pada waktu pembentukan ASEAN dirintis, maka dalam kesempatan itu, Adam Malik secara khusus meminta agar dibukakan pintu bagi kemungkinan bergabungnya negara-negara Asia Tenggara lainnya.[15] Indonesia sebenarnya menginginkan jumlah keanggotaan yang lebih banyak dan lebih luas dari sekedar Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina saja. Negara-negara non-komunis lainnya, seperti Kamboja-nya Pangeran Sihanouk pada waktu itu dan Birma, diinginkan pula. Malahan Ceylon[16] pun tak akan ditampik. Namun karena ada keragu-raguan dari negara-negara anggota lainnya itu terhadap perubahan dramatis di Indonesia, maka sikap mereka terhadap gagasan tersebut dingin sekali.[17] Pendekatan yang disebutkan di atas tersebut dilakukan secara khusus kepada Birma dan Kamboja, namun juga karena politik negeri kedua negara itu kiranya tidak akan memungkinkan mereka dapat ikut serta dalam kerja sama regional tersebut. Namun demikian, pendekatan tersebut justru sangat diperlukan, agar tidak akan menimbulkan salah pengertian di antara negara-negara tetangga.[18]

Dalam Deklarasi Bangkok kelima Menteri Luar Negeri menandaskan bahwa ASEAN membuka pintu bagi semua negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk memasuki ASEAN dengan ketentuan harus menghormati dan tunduk kepada 7 pokok strategi yang dicetuskan dalam Deklarasi Bangkok.[19] Artinya Adam Malik memang tidak berhasil menarik Birma (sekarang Myanmar) dan Kamboja untuk bergabung, namun keanggotaan terbuka bagi seluruh negara-negara Asia Tenggara yang menganut tujuan dan dasar-dasar ASEAN. Menurut Leo Suryadinata, bahwa melalui ASEAN, Indonesia harus dapat memainkan peran pemimpin di wilayah Asia Tenggara ini, karena merupakan negara terbesar dalam asosiasi tersebut. Kepemimpinan Indonesia telah terlaksana dalam tingkat tertentu, meskipun tidak selalu sejalan dengan Indonesia sendiri. Tetapi dalam berbagai isu penting, pandangan Indonesia selalu dipertimbangkan. Seperti pandangan tentang pangkalan militer asing di wilayah regional.[20]  

Pada saat yang sama ketika ASEAN didirikan, Menlu Indonesia Adam Malik bersikeras untuk mencantumkan rumusan bahwa pangkalan asing di negara-negara Asia Tenggara bersifat sementara. Indonesia yang merupakan bagian dari ASEAN tetap menghormati negara-negara ASEAN lain yang mengizinkan pangkalan asing di negaranya. Diterimanya rumusan Adam Malik yang memasukkan unsur kata “sementara” adalah kemenangan diplomatik yang cukup baik untuk kepentingan jangka panjang bagi Indonesia dan bagi semua anggota ASEAN yang belum lama berada di kancah politik Internasional.[21] Pangkalan asing harus dengan persetujuan negara bersangkutan dan sama sekali tidak boleh digunakan untuk mengganggu kemerdekaan dan kebebasan negara-negara di kawasan tersebut, tidak pula untuk merongrong perkembangan pembangunan nasional negara-negara tersebut.[22] Desakan Indonesia tersebut terjadilah konsesi dan kompromis mengenai masalah pangkalan asing ini. Konsesi dan kompromis itu dapat dilihat kembali dalam preambule dari Deklarasi Bangkok tersebut.  

Indonesia selalu memandang pangkalan militer asing di Asia Tenggara sebagai suatu ancaman terhadap kemerekaan Asia Tenggara, terutama Indonesia. Pangkalan militer asing juga dilihat sebagai suatu hambatan terhadap peran Indonesia di dalam masalah-masalah regional. Namun demikian, para pemimpin Indonesia (termasuk Adam Malik) menyadari bahwa tidak realistis untuk menuntut pemindahan segera dari pangkalan asing (yakni Amerika), dan karenanya, suatu kompromi diadakan di antara negara-negara anggota. Sekalipun Deklarasi Bangkok itu mencantumkan sifat kesementaraan pangkalan asing itu, namun dalam prakteknya kesemantaraan itu tidak dapat cepat diakhiri. Sehingga antara tahun 1967 sampai tahun 1971, yaitu antara Deklarasi Bangkok dan Deklarasi Zona Damai, Kemerdekaan, dan Netralitas di Kuala Lumpur, negara-negara Thailand dan Filipna sebenarnya menjalankan politik amfibi. Yaitu, kaki satunya berpijak di ASEAN, kaki lainnya masih berpijak di SEATO.[23]

Namun, hingga pertengahan 1970-an, tidak banyak yang bisa dilakukan ASEAN. Fungsi utamanya bersifat simbolis: ASEAN tidak didirikan untuk menggalang beragam proyek, tapi pertemuan-pertemuan dan proyek-proyeknya hanya untuk membenarkan kehadiran organisasi itu sendiri. Tujuan utamanya adalah menjadi lambang kerja sama regional dan memulihkan citra Indonesia sebagai aktor regional yang konstruktif, bebas dari sentimen era Soekarno dan sikap agresif. Adam Malik dan elite Orde Baru juga berharap bahwa kerja sama regional ini bisa berfungsi sebagai penyeimbang terhadap pengaruh besar Jepang dan Amerika Serikat terhadap Indonesia.[24] Dalam proses perkembangannya tahun 1969 – 1974 merupakan tahap konsolidasi bagi ASEAN. ASEAN telah mendapat pengakuan dari negara luar sebagai suatu kekuatan organisasi regional Asia Tenggara, yang telah tumbuh menjadi suatu kekuatan ekonomi yang mendapat tempat di wilayah Pasifik dan kelompok ekonomi lainnya di dunia seperti Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dan Jepang.

Dalam bidang sosial – budaya, ASEAN telah mencapai kemajuan yang cukup besar artinya. Melalui berbagai proyek telah diusahakan untuk memasyarakatkan ASEAN, terutama yang menyangkut kalangan remaja, seniman, dan cendikiawan. Selain itu peranan ASEAN juga sudah diperluas ke dalam bidang Politik disampai kerja sama ekonomi dan sosial – budaya. Presiden Soeharto menyatakan bahwa ASEAN merupakan kelompok regional murni yang tidak mengabdi  kepada kepentingan kekuasaan asing, juga tidak menjalankan politik memusuhi  kekuatan asing. ASEAN adalah sebuah organisasi regional asli yang mengemban kepentingan nasional.[25]

2.      Gerakan Non-Blok (GNB)

Indonesia memandang dirinya sebagai salah satu pendiri Gerakan Non-Blok, dan ingin diakui seperti itu. Dalam banyak publikasi dengan topik politik luar negeri Indonesia, Gerakan Non-Blok dipandang berasal dari Konferensi Asia-Afrika di tahun 1955, juga dikenal sebagai Konferensi Bandung. Dasasila Bandung dipercaya sebagai dasar dari prinsip-prinsip GNB. Konsep ZOPFAN diterima secara baik dalam konferensi GNB di Aljazair tahun 1973, namun investasi asing dikecam oleh banyak negara. Indonesia sebagai salah satu negara yang mempertahankan investasi asing, mengatakan bahwa ini harus dilihat sebagai pelengkap pada modal nasional dan ini akan memberikan keuntungan pada negara dan masyarakat yang membutuhkan.

Dalam konferensi yang belakangan (1970-an), kelihatan Indonesia masih tetap tidak mau menonjol. Hanya menteri luar negeri yang dikirim untuk menghadiri pertemuan sampai bulan September 1986 di saat Wakil Presiden Jenderal Umar Wirahadikusumah datang untuk menghadiri pertemuan di Harare, Zimbabwe. Salah satu tujuannya adalah mendapatkan dukungan dari negara-negara Non-Blok untuk mencalonkan Indonesia sebagai ketua GNB berikutnya. Tawaran itu ditolak. Alasannya GNB yang didominasi negara-negara pro-Sovyet itu tidak setuju terhadap kepemimpinan Indonesia. Menurut mereka Indonesia sangat pro-Barat. Invasi Indonesia di Timor Timur juga telah menimbulkan amarah negara-negara Afrika. Yang terakhir, penolakan Indonesia untuk mengizinkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) membuka kantornya di Jakarta di catat oleh berbagai pengamat sebagai suatu alasan kegagalan Soeharto memenangkan kursi ketua. Indonesia tidak populer di mata sejumlah negara Asia dan Amerika Latin, sebagai akibat dari pendudukan Indonesia atas Timor-Timur sepuluh tahun yang lalu dan hubungan Indonesia yang dekat dengan AS.[26]

3.      G. 77

Kelompok 77 (G-77) dibentuk pada tanggal 15 Juni 1964 melalui pengesahan Joint Declaration dari 77 anggota negara berkembang pada saat berlangsungnya sidang Sesi Pertama United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) di Jenewa. Kelompok 77 dan China pada dasarnya merupakan forum yang bertujuan mendorong kerja sama internasional di bidang pembangunan, khususnya bagi negara-negara berkembang. Pada perkembangannya, kegiatan Kelompok 77 dan China ditujukan tidak saja untuk memberikan dorongan dan arah baru bagi pelaksanaan kerja sama Utara-Selatan di berbagai bidang pembangunan internasional, tetapi juga dimaksudkan untuk memperluas kerja sama dalam memantapkan hubungan yang saling menguntungkan dan saling mengisi antara sesama negara berkembang melalui Kerja Sama Selatan-Selatan.

Kelompok 77 dan China memiliki kegiatan-kegiatan penting dalam kerangka PBB, terutama untuk merundingkan berbagai isu dan keputusan/resolusi yang akan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan PBB. Bagi Indonesia, kerja sama dalam wadah Kelompok 77 dan China merupakan sarana yang baik untuk penguatan Kerja Sama Selatan-Selatan, antara lain melalui Perez-Guererro Fund.[27]  Pada tanggal 9-10 februari 1994 diadakan pertemuan terbatas tingkat menteri luar negeri anggota GNB di Jakarta. Pertemuan ini bersifat informal mempersiapkan berbagai masukan, pandangan, saran, dan usulan-usulan bagi konferensi tingkat Menlu di GNB di Kairo, terutama meningkatkan GNB dengan G-77.[28]

4.      Organisasi Konferensi Islam (OKI)

Indonesia menjadi salah satu Negara yang mendirikan Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam KTT OKI I di Rabat, Maroko. Indonesia diizinkan berpartisipasi dalam kerja sama yang berbentuk didasarkan pada piagam PBB. Michael Leifer mengatakan, “indonesia telah berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan OKI bukan sebagai negara Islam, namun sebagai sebuah negara yang menghargai prinsip-prinsip Gerakan Non-Blok dan konferensi Bandung.”[29] Pada tanggal 25-28 Januari 1981, KTT III OKI di Taif, Saudi Arabia, delegasi RI datang dengan dipimpin oleh Wakil Presiden Adam Malik.[30]

Pada 1 april 1993, Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengadakan pertemuan di Karachi, Pakistan untuk membicarakan pertumpahan darah di Bosnia. Indonesia memperlihatkan rasa solidaritas dengan Negara-negara Islam lainnya atas pembantaian masyarakat Islam Bosnia. Meskipun demikian, pejabat departemen Luar Negeri Indonesia menyatakan bahwa ini tak perlu diartikan sebagai mengirim pasukan.[31]

5.      ASEAN Free Trade Area (AFTA)

Dalam bahasa Indonesia, diartikan sebagai Wilayah Perdagangan Bebas ASEAN. AFTA merupakan usul Indonesia pada sidang Menteri Ekonomi negara-negara ASEAN ke-22 di Bali pada Oktober 1990, dalam rangka memperkuat kerja sama ekonomi ASEAN. Hal ini didorong oleh karena pada paruh pertama 1980-an negara-negara ASEAN menghadapi kesulitan ekonomi. Penerimaan wilayah perdagangan bebas akan membuka jalan bagi liberalisasi lebih jauh bagi ekonomi ASEAN. Pembebasan perdagangan intra-ASEAN diharapkan akan meningkatkan kemampuan bersaing ASEAN terhadap negara-negara Pasifik lainnya. AFTA diharapkan dapat berkembang secara berkelanjutan apabila ASEAN meningkatkan jumlah komoditi yang diperdagangkan secara bebas antar negara ASEAN.[32]

Pertemuan Para Menteri Ekonomi ASEAN (AEM) ke-22 di Bali tanggal 29-30 Oktober 1990, telah berhasil dicapai beberapa prakarsa baru. Di bidang perdagangan di sepakati untuk memberlakukan “Tingkat Tarif Prefensi Efektif yang Sama” (Common Effective Preferential Tariff-CEPT) antara 5-10% atas dasar produk per produk. Konsep CEPT ini juga diterapkan pada pengaturan kerja sama ASEAN di bidang industri terutama produk-produk AIJV. Pada tahap ini berbagai prakarsa lain diusulkan, seperti pembentukkan ASEAN Treaty of Economic Cooperation, Growth Triangle concept, East Asia Economic Grouping, dan ASEAN Free Trade Area. Pada tanggal 27-28 Januari 1992, Para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN kembali mengadakan Pertemuan Tingkat Tinggi di Singapura.

KTT ASEAN IV ini mempunyai arti penting dan bersejarah karena diadakan pada saat dunia sedang mengalami perubahan yang mendasar. Situasi politik dunia berubah menuju pada suatu pola hubungan internasional yang menimbulkan kesempatan dan tantangan baru. Hal itu menuntut ASEAN untuk menentukan arah dan kebijakan baru di bidang politik, ekonomi dan keamanan yang sekaligus juga merupakan sumbangan ASEAN dalam menciptakan tata dunia baru. Dalam KTT tersebut semua prakarsa baru dibahas.

Dalam bidang ekonomi, khususnya kerja sama ekonomi intra-ASEAN, para Kepala Negara/Pemerintahan negara-negara ASEAN menyepakati suatu Kerangka Persetujuan mengenai Peningkatan Kerja Sama Ekonomi ASEAN (Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation) yang berfungsi sebagai “payung” bagi segala bentuk kerja sama ekonomi ASEAN di masa mendatang, dan membentuk Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area-AFTA) yang akan dicapai dalam waktu 15 tahun dengan menggunakan Skema Tingkat Prefensi Tarif Efektif yang Sama (CEPT) sebagai mekanisme utamanya, melalui penandatanganan Agreement of the CEPT Scheme for the AFTA.

Gagasan pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN ini merupakan suatu terobosan yang berani dan strategis. Namun mengingat adanya perbedaan tingkat perkembangan ekonomi dari negara-negara anggota ASEAN antara lain dalam pendapatan per kapita, tingkat perkembangan industri, tingkat keterampilan tenaga kerja, maka untuk menuju kepada terbentuknya ASEAN sebagai “wilayah perdagangan bebas” diperlukan langkah-langkah bertahap dalam kurun waktu yang cukup melalui bentuk dan mekanisme yang sesuai dengan kesiapan dan tingkat kemajuan pembangunan ekonomi anggotanya. Untuk mencapai terwujudnya AFTA, dibentuk sebuah Dewan setingkat menteri untuk mengawasi, mengkoordinasikan, dan mengevaluasi pelaksanaan CEPT. Pembentukan suatu Badan/Dewan (Council) yang bertugas untuk mengkoordinasikan, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanan CEPT dan membantu Para Menteri Ekonomi ASEAN (AEM) dalam segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan CEPT. Badan ini beranggotakan satu orang wakil setingkat menteri dari masing-masing negara-negara anggota ASEAN dan Sekretaris Jenderal ASEAN. Sekjen ASEAN memberikan dukungan administrasi bagi kelancaran pelaksanaan tugas badan tersebut.[33]

Sasaran AFTA: AFTA akan punya daya tarik apabila tercipta pasar yang lebih besar dan dapatnya ASEAN menarik penanaman modal asing yang lebih banyak. Dengan demikian AFTA juga dapat dimaksudkan untuk menciptakan suatu daerah investasi, lebi dari daerah perdagangan. Untuk itu menghadapi semua ini, ASEAN harus memperbaiki dan menciptakan faktor-faktor penarik yang baru, seperti infrastruktur dan sumber daya manusia yang berkemampuan tinggi, selain dari itu ASEAN juga harus mengusahakan pengembangan diri sebagai suatu daerah investasi.

Sasaran terakhir AFTA adalah menciptakan suatu pasar regional dengan penurunan bea masuk paling tinggi lima persen pada masa transisi 10 tahun. Dalam transisi ini bea impor yang berasal dari negara-negara ASEAN akan diturunkan ke tingkat maksimum yang sama bagi setiap negara anggota, yaitu lima persen pada tahun 2003.

6.      APEC

Forum Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) dibentuk pada November 1989 atas usul PM Australia Bob Hawke dengan beranggotakan enam Negara ASEAN, Australia, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Kemudian menyusul bergabung Cina, Hongkong, Papua Nugini, Taiwan, dan Chili. Pada November 1933 KTT I APEC dilangsungkan di Seattle, AS. Presiden Soeharto menerima undangan Presiden Clinton untuk hadir di KTT tersebut. Pertemuan tersebut mengusulkan bahwa APEC akan bekerja menuju liberlisasi Asia-Pasific.[34]

7.      OPEC

Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) didirikan pada tanggal 14 September 1960 di bagdad oleh Negara penghasil minyak bumi. Anggota OPEC terdiri dari Saudi Arabia, Irak, Iran, Kuwait, Venezuela, Indonesia, Libya, Uni Emirat Arab, Nigeria, Qatar, Al Jazair, dan Equador. Indonesia sangat berkepentingan dengan organisasi ini karena minyak dan gas merupakan sumber devisa untuk membiayai kelangsungan hidup Negara. Tujuan dari mendirikan OPEC ialah untuk mempersatukan langkah kebijakan dalam bidang perminyakan internasional, dan menentukan harga minyak dunia untuk melindungi Negara agama.

 

C.    Indonesia dan kerja sama keamanan regional (ZOPFAN, SEANWFZ, Masalah Kamboja)

 

1.      ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality)

Kerja sama ASEAN di bidang politik dan keamanan ini untuk pertama kalinya mulai memperlihatkan eksistensinya pada waktu para Menteri Luar Negeri ASEAN dalam pertemuan khususnya di Kuala Lumpur, November 1971 menerima Deklarasi Kuala Lumpur mengenai konsep ZOPFAN.[35] Hal ini didasari atas tanggapan politik terhadap ungkapan Natal Presiden AS; Richard Nixon itu dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri Filipina Dr. Carlos Romulo dalam penutupan pertemuan Menlu ASEAN yang keempat. Pernyataan politik Menlu Dr. Carlos Romulo itulah yang mengawali kegiatan ASEAN di bidang politik, dan empat tahun semenjak ASEAN berdiri, untuk pertama kali keluarlah Deklarasi Politik di Kuala Lumpur tersebut. Selain itu hal ini juga dikarenakan perubahan prinsipal dalam politik luar negeri Amerika Serikat, yang membuat terjadinya pergeseran di bidang politik dunia.[36],[37]

Pada tanggal 27 November 1971, lima wakil dari ASEAN, yaitu Perdana Menteri Tun Abdul Razak dari Malaysia, Menteri Luar Negeri Filipina Carlos Romulo, Menteri Luar Negeri Singapura S. Rajaratnam, Wakil Dewan Eksekutif Thailand Thanat Khoman, dan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik mengadakan pertemuan darurat untuk menggariskan kebijaksanaan baru yang dapat menampung sikap politik Presiden Nixon yang sementara itu sudah mengeluarkan gagasan “Vietnamization”[38] dari keterlibatan perang Amerika di Indo-China. Dan di Kuala Lumpur itulah mereka mengeluarkan deklarasi politik yang dikenal sebagai The Declaration of the Zone of Peace, Freedom and Neutrality, Deklarasi Daerah Damai, Bebas dan Netral atau yang dinamakan secara pendek Deklarasi Kuala Lumpur.

Mengenai konsep ZOPFAN, ini merupakan anjuran Tun Abdul Razak saat menjadi Perdana Menteri Malaysia yang mana ia mulai menata kembali politik luar negeri Malaysia. Ia juga menentang kehadiran pangkalan militer asing di wilayah tersebut. Konsep ZOPFAN inilah yang pada akhirnya diambil ASEAN sebagai cita-cita ASEAN yang harus dicapai di masa-masa mendatang.[39]

Dalam tatanan praktis, kapabilitas hubungan luar negeri Indonesia lebih teruji lagi, terutama dalam hal mempraktekkan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bersifat “bebas aktif”. Pada tanggal 27 November itu para Menlu ASEAN menyetujui konsep tersebut. Pada saat perimbangan kekuatan di Asia Pasifik mulai berubah dengan pendekatan Amerika-RRC pertengahan 1971, Indonesia menggariskan kemauan politik regional dalam rumusan ZOPFAN itu. Indonesia taat pada asas bahwa masalah keamanan regional haruslah diupayakan sebanyak mungkin atas kemauan bangsa Asia Tenggara sendiri, bukan atas “jaminan” negara-negara besar sebagaimana masih dianut oleh negara ASEAN lainnya. Prinsip-prinsip ZOPFAN adalah kerangka politik utama RI, sebagai cetusan naluri dasar kebebasan yang bersumber pada cita-cita revolusi nasional RI 1945-1950 dan lanjutan penerapan konsep ketahanan nasional. [40]  

Menurut Roeslan Abdulgani, ZOPFAN juga terkait dengan permasalahan pangkalan militer asing yang bersifat kesementaraan; tetapi dalam prakteknya tidak berjalan semestinya karena ada negara yang pakai politik amfibi. Menurut beliau juga, tepatlah komentar beberapa pihak yang menyatakan bahwa sebenarnya Deklarasi Kuala Lumpur tahun 1971 itu sudah berlaku untuk Indonesia. indonesia sudah sejak berdirinya berpolitik non-aligned, dan tidak memperkenankan adanya pangkalan asing di daerah wilayahnya. Indonesia sudah lama “netral”, dan ini tidak berlaku bagi negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina.[41]  

Dalam deklarasi tersebut kelima negara ASEAN menyatakan tekad untuk memperjuangkan pengakuan dunia luar terhadap kedudukan Asia Tenggara sebagai daerah Damai, Bebas, dan Netral yang harus dihormati dan tidak boleh diganggu gugat oleh kekuatan asing. Ditegaskan juga bahwa setiap negara di Asia Tenggara harus berusaha sekuat tenaga untuk memperluas bidang kerja sama sehingga kekuatan dan kerja sama di lingkungan negara-negara tetangga akan menjadi semakin mantap.[42]

Penerimaan/penyetujuan konsep ZOPFAN ini merupakan upaya bagi ASEAN untuk mewujudkan aspirasi politik yang terkandung dalam Deklarsi Bangkok, khususnya mengenai tujuan ASEAN yaitu memperkokoh perdamaian dan stabilitas kawasan dengan menjunjung tinggi rasa keadilan dan norma hukum dalam hubungan antara negara-negara di kawasan dengan berpegang pada asas-asas Piagam PBB. Sejak saat itu kerja sama di bidang politik telah menjadi salah satu mata acara dalam pertemuan-pertemuan ASEAN baik pada KTT maupun pada pertemuan-pertemuan antarpara Menlu dan pejabat-pejabat tinggi ASEAN.[43] Jelas sifat Deklarasi Kuala Lumpur itu adalah kolektif dari semua negara-negara ASEAN dengan berwatak self-neutralization.[44] Konsep ZOPFAN ini menjadi doktrin ASEAN di tahun 1976 ketika ini diterima dalam Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN.[45]

2.      SEANWFZ (South East Asia Nuclear Weapon Free Zone)

       SEANWFZ (Southeast Asian Nuclear Weapons Free Zone) Selain mendukung ZOPFAN indonesia juga membuat doktrin baru yaitu SEANWFZ yang merupakan zona bebas senjata nuklir yang merupakan bagian dari ZOPFAN. Karena Indonesia menganggap bahwa jika ZOPFAN tidak dapat tercapai, maka SEANWFZ lah yang harus dijalankan terlebih dahulu. Yang pada akhirnya Zona Bebas Senjata Nuklir ini dimasukkan kedalam deklarasi Manila pada tahun 1987 . Pembentukan SEANWFZ merupakan upaya negara di Asia Tenggara untuk meningkatkan keamanan da stabilitas kawasan baik regional maupun global, dan rangka untuk mendukung upaya tercapainya suatu pelucutan dan pelanggaran senjata nuklir secara umum dan menyeluruh. Penandatanganan traktat SEANWFZ di Bangkok pada tanggal 15 Desember 1995 dan sudah diratifikasi oleh seluruh negara ASEAN. Penandatangan Traktat ini merupakan tonggak sejarah yang sangat penting bagi ASEAN dalam upaya untuk mewujudkan kawasan Asia Tenggara yang aman dan stabil serta usaha untuk mewujudkan perdamaian dunia . Kawasan Bebas Senjata Nuklir (KBSN) terbentuk pada KTT ASEAN ke 5 di Bangkok 18 Desember 1996.

       Perlucutan senjata khususnya senjata nuklir, merupakan hal yang sulit dan kompleks, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif dan beragam, yang mencakup pendekatan global maupun regional. Pembentukan suatu KBSN pada umumnya dianggap sebagai upaya pengawasan senjata atau non proliferasi regional (regional arms control and non profileration measures), dengan tujuan memberikan keamanan yang lebih baik bagi negara-negara di kawasan dengan tidak membiarkan negara-negara kawasan untuk memiliki senjata nuklir. Pembentukan KBSN memperkuat NPT (Non profileration treaty) karena secara tegas melarang penempatan senjata nuklir di suatu kawasan oleh negara-negara luar kawasan. Negara-negara penandatangan juga berharap melalui pengaturan semacam ini mereka dapat menjauhkan diri dari semua aktivitas nuklir yang berhubungan dengan negara-negara nuklir sehingga tidak terseret dalam persaingan negara-negara besar. Adanya ketentuan bagi negara-negara nuklir untuk memberikan jaminan untuk tidak menggunakan atau mengancam untuk menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara non nuklir.

 

3.      Masalah Kamboja

 

      Masalah Kamboja Konflik Internal Kamboja Pada masa kepemimpinan Pangeran Sihanouk Kamboja sudah bekerja sama dengan negara-negara barat terutama dengan Perancis dan Amerika Serikat. Dengan dukungan dari Amerika Serikat banyaknya masalah yang terjadi, Lon Nol menteri pertahanan saat itu melakukan kudeta terhadap pemerintahan Pangeran Sihanouk, dengan beberapa alasan; pertama, Pangeran Sihanouk mengizinkan pasukan sementara Vietnam Selatan menduduki wilayah Kamboja, dan hal tersebut jelas-jelas dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Kamboja. Kedua, Pangeran Sihanouk dianggap otoriter karena bertindak tanpa memperhatikan Undang-Undang dan Konstitusi. Ketiga, karena Pangeran Sihanouk bersifat pilih kasih terhadap keluarga dalam memilih orang-orang yang akan duduk dalam kursi pemerintahan. Dan yang terakhir, Pangeran dituduh membiarkan terjadinya korupsi diantara keluarga - keluarga kerajaan.

      Setelah berhasil menjatuhkan kepemimpinan Pangeran Sihanouk, di bawah kepemimpinan Lon Nol dan pengaruh Amerika Serikat, Kamboja menjadi negara yang sangat pro barat. Sikap terbuka Kamboja ini dimanfaatkan AS untuk membendung pengaruh Komunis yang sedang menjalar dikawasan Indochina dan Asia Tenggara. Tetapi pemerintahan Lon Nol tidak bertahan lama. Pada tahun 1975 Pemerintahan Khmer Republic dijatuhkan oleh Democratic Kampuchea (DK) di bawah rezim Khmer Merah, dengan Pol Pot sebagai pemimpinnya. Dibawah pemerintahan Pol Pot inilah Kamboja menjadi negara beraliran komunis dan terisolir dari hubungan diplomatik. Ia memutuskan hubungan dengan negara-negara di kawasan regionalnya dan di belahan dunia lainnya, kecuali dengan Cina, Vietnam, dan Swedia. PBB pun tidak mengakui adanya pemerintahan ini.

      Politik Luar Negeri yang di jalankan oleh Demokratik Kampuchea ini disebut sebagai konsep Year Zero, yaitu revolusi destruktif yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan secara massal dalam suatu periode. Invasi Vietnam ke Kamboja Pada Desember 1978 Vietnam benar-benar menginvasi kamboja, menggulingkan rejim Pol Pot (yang haus darah), dan menanamkan pemerintahan Heng Samrin pro-vietnam. denagn dukungan pasukan kuat vietnam bertahan menguasai Kamboja, yang diubah menjadi RRK (Republik Rakyat Kamboja). Sementara tokoh RRK seperti Heng Samrin, Chea Sim, dan Hun Sen sebenarnya adalah mantan komandan Khmer Merah di kawasan timur Kamboja. Mereka menentang keganasan Pol Pot dan melarikan diri ke Vietnam. Di sanalah para pemberontak ini dilatih dan dipersiapkan Vietnam untuk kemudian merebut dan menduduki Kamboja dengan dukungan pasukan Vietnam . Invasi Vietnam ke Kamboja menciptakan persoalan serius di sekitar perbatasan wilayah Thailand-Kamboja. Sisa-sisa pasukan Khmer Merah yang masih bertahan plus puluhan ribu pengungsi dari Kamboja memenuhi wilayah tersebut. Konflik bersenjata di kawasan tersebut tidak terhindarkan . Penyelesaian Invasi Vietnam ke Kamboja Sikap Vietnam yang menginvasi kamboja sangat dikecam keras oleh negara-negara ASEAN.

      Para Menlu ASEAN mengeluarkan suatu keputusan bersama tanggal 7 Januari 1979 di Jakarta. Dalam Komunike itu dinyatakan bahwa ASEAN mengutuk invasi bersenjata Vietnam ke Kamboja, serta menegaskan hak-hak rakyat Kamboja untuk menentukan masa depannya yang terbebas dari campur tangan pihak luardan menyerukan penarikan pasukan asing dari Kamboja. Namun pernyataan tersebut di tolak oleh Vietnam dan penolakan yang dilakukan Vietnam mengakibatkan seruan-seruan perang yang muncul di setiap wilayah Kamboja. Kamboja semakin komplek dengan campur tangan pihak luar, seperti RRC dan AS. Untuk memecahkan masalah Kamboja pada bulan Juli 1988 di Istana Bogor (Indonesia) berkumpul pihak-pihak yang bertikai dan pertemuan tersebut dikenal dengan JIM (Jakarta Informal Meeting).

      Kemudian untuk menindak lanjuti JIM yang pertama pada bulan Februari 1989 diadakan JIM II dan berhasil menemukan 2 masalah penting, yaitu: • Penarikan pasukan Vietnam dari kamboja akan dilaksanakan dalam kaitannya dalam penyelesaian politik menyeluruh. Vietnam mulai memberikan janji dan bersedia menarik pasukannya dari Kamboja; • Muncul upaya untuk mencegah kembalinya rezim Pol Pot, yang semasa berkuasa di Kamboja telah melakukan pembantaian keji terhadap sekitar sejuta rakyat. Daftar Bacaan Dian Triansyah Djani. 2007. ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN. Leo Suryadinata. 1998. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES.

 

 

 

D.    Normalisasi hubungan Republik Indonesia dengan RRC

Sejak terjadinya upaya kudeta yang gagal oleh Partai Komunis Nasional (PKI) pada 30 September 1965, hubungan antara Jakarta – Beijing menjadi memudar. Popularitas RRC dimata pemerintah dan rakyat Indonesia menjadi turun drastis serta Beijing tidak dipandang sebagai mitra terdekat karena Cina dituduh ikur campur dalam rencana mengkudetakan pemerintah pada tubuh PKI. Begitu banyak sekali bukti – bukti sehingga sentimen terhadap peristiwa  30S/PKI dicampuri oleh Cina semakin menajam.[46]

Pertikaian diplomatik semakin menjadi kompleks karena keterlibatan unsur – unsur politik massa di Indonesia dan Cina. Berbagai gelombang massa demonstrasi agar Soekarno menghancurkan PKI dan hubungannya dengan Cina. Selain itu kedutaan Cina juga tidak terlepas dari amukan dan pengrusakan. Kemudian di pihak Cina sendiri, ratusan pemuda pada pertengahan bulan April tahun 1967 melakukan demonstrasi,mengecam tindakan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia terhadap Kedubesnya di Kawasan Glodok. Akibatnya terjadi saling pengusiran diplomat. Pada 27 April 1967, pemerintah Indonesia mengusir diplomat Cina dari Indonesia dan kemudian memanggil pulang ke Indonesia  seluruh staf diplomatik di Beijing.

Puncaknya pemerintah Indonesia melakukan memorandum dari Departemen Luar Negeri pada 23 Oktober 1967 dengan resmi menegaskan bahwa pemerintah Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan Cina yang terhitung sejak 30 Oktober 1967. Sampai bulan Agustus 1975, Indonesia masih mempertahankan status quo meskipun negara – negara Asia tenggara sudah membuka jalan hubungan diplomatik dengan Beijing. Pada sejak awal – awal 1970 an sudah nampak normalisasi hubungan Indonesia dan Cina.

Pada akhir tahun 1977, isu normalisasi kembali menjadi pembicaraan hangat karena KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) mengunjungi Cina untuk mengunjungi Canton Fair. Sejak saat itu hasrat pihak penguasa Indonesia untuk berdagang secara langsung dengan Cina semakin menguat. Jalan untuk merintis hubungan dagang dengan Cina mulai terbuka ketika Indonesia mengalami kesulitan karena turunnya harga minyak pada awal tahun 1980-an. Lembaran baru dalam hubungan Indonesia – Cina dimulai ketika ditandatanganinya kontrak pembelian komoditi RI oleh Cina di Canton pada tanggal 24 November 1984. Hubungan dagang langsung RI – Cina dibuka secara resmi setelah kedua belah pihak sepakat untuk menandatangani sebuah Memorandum of Understanding  (MoU) di Singapura pada tanggal 5 Juli 1985.

Seiring dengan meningkatnya perdagangan dan kontak – kontak ekonomi antara RI – Cina, kontak – kontak politik terus berjalan walaupun Pemerintah Indonesia mencoba memberi batasan yang agak tegas antara hubungan ekonomi dan politik. Ketika pada bulan Februari 1989, Presiden Soeharto menerima Menlu RRC yaitu Qian Qichen di Tokyo sepakat dalam mengadakan arah normalisasi hubungan diplomatik antara dua negara. Baik Jakarta maupun Beijing, juga sepakat untuk menjadikan Dasa Sila Bandung dan Lima Prinsip Koeksistensi Damai sebagai dasar bagi normalisasi itu.

Kesediaan Indonesia dalam mendirikan hubungan normalisasi dengan Cina juga tidak terlepas dengan syarat yaitu tidak akan mempengaruhi dan mencampuri urusan dalam negeri masing – masing dan dari Cina juga menegaskan tidak akan membantu sisa gerakan PKI di Indonesia.

Hubungan diplomatik yang telah beku selama 23 tahun akhirnya mencair pada tanggal 8 Agustus 1990 setelah dilakukannya penandatanganan “Memorandum of Understanding Between the Goverment of the Republic of Indonesia and the Goverment of the People’s Republic of China on the Resumption of Diplomatic Relations”.[47]

 



[1] Leo Suryadinata. Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Soeharto ( terj), (Jakarta: LP3ES, 1998), hal 44-45

[2] A. Dahana et. Al (ed). Taufik Abdullah & A.B. Lapian. Pascarevolusi; Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 7, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve atas kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2012), hal 79

[3] M. Sabir. Politik Bebas Dan Aktif : Tantangan Dan Kesempatan, (Jakarta: PT Gita Karya, 1987), hal`47

[4] Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal 611

[5] M. Sabir. Politik Bebas Dan Aktif : Tantangan Dan Kesempatan. Op Cit, hal 209

[6] Mulyono Al Joyomartono. Jiwa, Semangat, dan Nilai-Nilai Perjuangan Bangsa Indonesia, (Semarang : IKIP Semarang Press. 1990), hal 111

[7] M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), hal 612

[8] Leo Suryadinata. Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Soeharto ( terj), (Jakarta: LP3ES, 1998), hal 84

[9] Roeslan Abdulgani. Asia Tenggara di tengah Raksasa Dunia, (Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan, 1978), hal 36

[10] Adam Malik. Mengabdi Republik jilid III Angkatan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1979), hal 80

[11] M.C. Ricklefs. Op Cit,  hal 612

[12] St. Munadjat Danusaputro. Astra-Jaya: Asia Tenggara dalam Jalan Silang Dunia, (Jakarta: Binacipta, 1984) hal 181

[13] Frans S. Fernandes. Hubungan Internaaional dan Peranan Bangsa Indonesia Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: P2LPTK, 1988), hal 188

[14] St. Munadjat Danusaputro. Op Cit, hal 180

[15] A. Dahana et. Al (ed). Taufik Abdullah & A.B. Lapian. Pascarevolusi; Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 7, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve atas kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2012), hal 81

[16] Kini bernama Sri Lanka, sebuah negara yang terletak di sebelah tenggara India.

[17] Roeslan Abdulgani. Asia Tenggara di tengah Raksasa Dunia, (Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan, 1978), hal 36

[18] Ibid, hal 36

[19] Adam Malik. Mengabdi Republik jilid III Angkatan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1979), hal 81

[20] Leo Suryadinata. Op Cit, hal 85

[21] A. Dahana et. Al (ed). Taufik Abdullah & A.B. Lapian. Op Cit, hal 81

[22] Adam Malik. Op Cit, hal 81

[23] Roeslan Abdulgani. Asia Tenggara di tengah Raksasa Dunia, (Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan, 1978), hal 37-38

[24] M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), hal 612

[25] Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal 616-617

[26] Leo Suryadinata. Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Soeharto ( terj), (Jakarta: LP3ES, 1998), hal 221-222

[27] Kementrian Luar Negeri RI,  (www.kemlu.go.id).

[28] A. Dahana et. Al (ed). Taufik Abdullah & A.B. Lapian. Op Cit, hal 94

[29] Ibid, hal 83

[30] Ibid, hal 88

[31] Ibid, hal 93

[32] Farida Welly. Handout Mata Kuliah Sejarah Asia Tenggara, (Padang: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, 2005), hal 69

[33] Sekretariat Nasional ASEAN dan Departemen Luar Negeri Indonesia. ASEAN Selayang Pandang, (Jakarta: Sekretariat Nasional ASEAN dan Departemen Luar Negeri Indonesia, 1992), hal 35-36

[34] A. Dahana et. Al (ed). Taufik Abdullah & A.B. Lapian. Pascarevolusi; Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 7, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve atas kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2012), hal 93

[35] Sekretariat Nasional ASEAN dan Departemen Luar Negeri Indonesia. ASEAN Selayang Pandang, (Jakarta: Sekretariat Nasional ASEAN dan Departemen Luar Negeri Indonesia, 1992), hal 136

[36] Adam Malik. Op Cit, hal 84-85

[37] Yakninya mengundurkan keterlibatan dalam Perang Vietnam, kemudian Nixon-Kissinger sedang merintis politik rekonsiliasinya dengan Peking (sekarang Beijing); dimana Peking masuk ke dalam PBB dibuktikan kunjungan Nixon ke RRC dalam bulan Februari 1972, terciptanya “détente” antara AS dan Uni Sovyet.

[38] Menurut Roeslan Abdulgani ini situasi dimana AS sedang dalam proses mengundurkan keterlibatannya dalam Perang Vietnam.

[39] Leo Suryadinata. Op Cit, hal 89

[40] A. Dahana et. Al (ed). Taufik Abdullah & A.B. Lapian. Op Cit, hal 84

[41] Roeslan Abdulgani. Op Cit, hal 38

[42] Adam Malik. Op Cit, hal 85

[43] Sekretariat Nasional ASEAN dan Departemen Luar Negeri Indonesia. ASEAN Selayang Pandang, (Jakarta: Sekretariat Nasional ASEAN dan Departemen Luar Negeri Indonesia, 1992), hal

[44] Roeslan Abdulgani. Op Cit, hal 47

[45] Leo Suryadinata. Op Cit, hal 90

[46] Bantarto Bantoro, Hubungan Luar Negeri  Indonesia Selama Orde Baru, (Jakarta: CSIS, 1994), hal 51

[47] Ibid, hal 51-52 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EKSPANSI KOLONIAL KELUAR JAWA (1850-1870)

makalah ilmu bebas nilai (filsafat ilmu)