POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA INDONESIA DI ERA ORDE BARU : ASEAN, GNB, G. 7, OKI, AFTA, APEC, OPEC
Makalah Sejarah Indonesia
Kontemporer
Mengenai
POLITIK LUAR NEGERI
INDONESIA INDONESIA DI ERA ORDE BARU
Oleh:
Kelompok 1
ALVANI
MAIZAL ASRI
EKI
ENDRO
EKY
PERMATA INDRA
FANESA
ZAHARA
HELSA
RAHMADHANI
SOFIA
RANI
JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS
ILMU-ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
2016
PEMBAHASAN
- Landasan
dan Pelaksanaan dalam Perjalanan Sejarah Pemerintah RI
Perlu ditekankan
di sini bahwa setelah “kudeta 1965”, militer yang direpresentasikan oleh
Jenderal Soeharto, menjadi pengambil keputusan yang paling penting, baik dalam
politik dalam negeri maupun luar negeri Indonesia. Tidak seperti Soekarno,
Soeharto lebih menaruh perhatian pada masalah pembangunan ekonomi dan mempertahankan
hubungan persahabatan dengan pihak Barat. Pemerintahan baru, di bawah
kepemimpinannya, memperkenalkan kebijakan pintu terbuka di mana investasi asing
ditingkatkan, dan bantuan pinjaman dibutuhkan untuk merehabilitasi ekonomi
Indonesia. Dalam periode ini, Indonesia menaruh perhatian khusus terhadap soal
regionalisme. Para pemimpin baru Indonesia menyadari pentingnya stabilitas
regional untuk menjamin keberhasilan rencana pembangunan Indonesia.[1]
Politik luar
negeri Indonesia selama Orde Baru dijalankan berdasarkan prinsip dasar yang
telah ditetapkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yakni “…ikut
melaksanakan ketertiban dunia atas dasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial”. pelaksanaan prinsip dasar politik luar negeri adalah wewenang
dan tugas pemerintah yang berkuasa. Sejak Adam Malik mengumumkan di depan
sidang Dewan Perwakilan Rakyat pada April 1966, bahwa “Politik luar negeri
Indonesia diabdikan untuk kepentingan nasional melalui pembangunan nasional,
maka operasionalisasi hubungan luar negeri Indonesia didasarkan pada pemikiran
bahwa politik luar negeri Indonesia di ajang Internasional akan disegani dan
dihormati apabila Indonesia menjalankan pembangunan nasional atas dasar
persatuan dan kesatuan politik yang demokratis, pemeliharaan keamanan dan
ketertiban dalam negeri yang memadai, dan pemerataan serta keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.[2]
Dalam bidang luar negeri,
penyelewangan terhadap politik bebas-aktif telah terjadi dengan dicetuskannya
manifesto politik Republik Indonesia. Untuk menghindari terulangnya kembali
pengalam pahit masa lalu itu tugas dan kewajiban politik luar negeri Orde Baru
adalah mengoreksi semua penyelewengan pada masa demokrasi terpimpin.
Berdasarkan kenyataan itu, MPRS sebagai lembagga kenegaraan tertinggi telah
menegaskan kembali landasan kebijakan politik luar negeri Indonesia.
Dalam ketatapan MPRS No.
XII/MPRS/1966, Mengenai penegasan kembali landasan kebijaksanaan luar negeri RI
dinyatakan bahwa politik bebas aktif bertujuan “mempertahankan kebebasan Indonesia
terhadap imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya
dan menegakkan ketiga segi kerangka tujuan revolusi, yaitu :
1. Pembentukan
satu Negara Republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan dan Negara kebangsaan
yang demokratis dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Marauke.
2. Pembentukan
satu masyarakat yang adil dan makmur materil dan spiritual dan wadah Negara
kesatuan Republic Indonesia itu.
3. Pembentukan
satu persahabatan yang baik antara RI dan semua Negara di dunia, terutama
sekali dengan Negara afrika dan asia atas dasar kerja sama mebentuk satu dunia
baru yang bersih dari imprealisme dan kolonialisme menuju kepada perdamaian
dunia yang sempurna.[3]
Sesuai dengan kepentingan nasional
, politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas dan aktif tidak dibenarkan
memihak pada salah satu blok ideologi yang ada. Politik bebas bukanlah politik
yang netral, melainkan suatu Negara tidak memikat diri dari pada salah satu
blok ataupun paktor militer. Tujuannya ialah mempertahankan kebebasan indonesia
terhadap imprealisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Sejak tahun 1967, pelaksanaan
politik luar negeri yang bebas dan aktif telah diterapkan secara konkret dalam
menggapai masalah-masalah internasional yang timbul, seperti masalah Vietnam,
Timur Tengah, dan lain –lain. Menlu Adam Malik menyatakan bahwa kebijakan
pemerintah dituntut oleh realitas yang ada di dunia luar. Sikap pemerintah Indonesia
telah memperoleh pengertian positif dari luar negeri.[4]
Politik bebas aktif di zaman Orde Baru
harus memberikan tekanan utama dibidang ekonomi, dan oleh karena itu diutarakan
bahwa “ sebagai konsekuensi logis, diplomasi yang dijalankan adalah diplomasi
ekonomi atau dapat disebut sebagai diplomasi pembangunan. Dalam rangka
mensukseskan diplomasi baru tersebut berbagai instansi pemerintah bekerja sama
dalam mengambil kebijaksaan yang titik beratnya ditujukan terhadap segala usaha
yang menunjang segala usaha yang menunjang keberhasilan Repelita.
Sesuai dengan ketentuan politik
luar negeri yang bebas aktif terus mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Aktif
kembali dalam semua organisasi internasional seperti ECAFE, UNCTAD, ABD dan
badan-badan khusus PBB lainnya.
2. Membicarakan
dengan Negara-negara kreditor lainnya mengenai penundaan utang-urtang, terutama
dengan Negara blok sosialis yang masih mengasingkan diri dari Paris Club.
3. Menyelesaikan
pengembalian perusahaan asing yang masa Orde Lama telah dikuasi pemerintah Indonsia.
4. Tetap
mengambil prakarsa dalam pengusahaan penanaman modal asing di Indonesia dengan
syarat-syarat yang menguntungkan kedua belah pihak.
5. Lebih
menginfestasikan perdagangan dengan luar negeri.[5]
Orde Baru memiliki dua landasan
yaitu; landasan tetap yang tidak berubah-ubah dan landasan yang bersifat situasional.
Landasan tetap yang tidak berubah-ubah tentu saja tidak dapat dilepaskan dari
landasan idiil yaitu falsafah dan ideologi Negara Pancasila dan landasan
konstitusional yaitu undang-undang dasar 1945.[6]
- Indonesia
dan Kerjasama Regional
(ASEAN, GNB, G. 7, OKI, AFTA, APEC, OPEC)
1.
Association
of South East Asian Nations (ASEAN)
Ketika politik
dalam negeri sudah bisa dikendalikan dengan baik, arah kebijakan asing
ditetapkan, dengan ASEAN (Association of South East Asian Nations) sebagai
landasan regional.[7] Ketika Soeharto duduk dalam kekuasaan di
tahun 1966, ia menghentikan konfrontasi dengan Malaysia dan mulai menunjukkan
pada dunia terutama terhadap Barat, bahwa ia akan meninggalkan kebijakan
Soekarno yang agresif. Ia yakin bahwa, dengan stabilitas politik, ia akan dapat
membangun ekonomi Indonesia melalui investasi asing dan bantuan asing.
Perhatian utama dari elite yang baru adalah pada upaya untuk menciptakan
stabilitas politik di wilayah regional, khususnya di antara negara-negara ASEAN
non-Komunis. ASEAN, sebagai suatu organisasi regional, akan menjalankan tujuan
ini.[8]
Seperti halnya
SEATO dan Konferensi Bandung (KAA) dilahirkan oleh situasi menajamnya konflik
Perang Dingin; dan ASA serta MAPHILINDO dilahirkan oleh meningkatnya
pertentangan “inter-regional” antara Malaya dengan Filipina dan Indonesia
mengenai masa depannya Kalimantan Utara dan dekolonisasi-policy-nya Inggris
sebagai sisa kekuatan “ekstern-regional”, maka ASEAN dilahirkan oleh
desakan-desakan berbagai kekuatan “inter-regional” dan “ekstern-regional”,
setelah perubahan dramatis di Indonesia pada tahun 1965, dan lebih meningkatnya
ketertiban dan partisipasi militerisme Amerika dalam peperangan Vietnam.[9]
Dua perkembangan
pokok di bidang politik dan di bidang ekonomi dunia telah membawa ke pemikiran
pembentukan satu badan regional di kalangan negara-negara Asia Tenggara yang
harus dapat menampung dan menyerap kedua perkembangan tersebut. Atas dasar
pemikiran itulah lahir ASEAN di Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967.[10]
ASEAN yang dibentuk bulan Agustus 1967 tersebut oleh Indonesia, Malaysia,
Singapura, Thailand, dan Filipina untuk memajukan kerja sama ekonomi dan budaya
di antara negara-negara yang antikomunis sewilayah.[11] Pembentukan
ASEAN berdasarkan Deklarasi Bangkok oleh kelima negara tersebut.[12]
Pertemuan pertama dihadiri oleh Adam Malik; Menlu Indonesia sebagai perwakilan
Indonesia, Wakil Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak, Menlu Filipina
Narciso Ramos, Menlu Thailand Thanat Khoman dan Menlu Singapura S. Rajaratnam.
Kelima Menlu ASEAN sekaligus merupakan konseptor dari Deklarasi Bangkok itu
telah berhasil memanifestasikan kebijaksanaan bersama negara-negara ASEAN.
Para konseptor
Deklarasi Bangkok berpendapat bahwa negara-negara di Asia Tenggara harus memikul
bersama tanggung jawab untuk memperkuat dan membina kestabilan ekonomi dan
sosial kawasan tersebut; juga berkewajiban untuk menjamin berkembangnya
pembangunan nasional dengan aman. Mereka bertekad untuk menjaga kestabilan dan
keamanan kawasan dari segala gangguan dari luar dalam bentuk apapun, dalam
rangka memelihara kepribadian nasional masing-masing.
ASEAN adalah wadah, alat dari
bangsa-bangsa Asia Tenggara untuk mencapai tujuan masing-masing dalam konteks
perdagangan dan kesejahteraan dunia. ASEAN bukan pakta militer, ASEAN dibentuk
demi ketahanan dalam mencapai kesejahteraan. ASEAN adalah wadah kerjasama
sosial ekonomi dan budaya. Perkembangan dunia internasional, turut menentukan
orientasi ASEAN. Dua tahun setelah didirikan, Presiden Nixon menyerukan kepada
bangsa-bangsa Asia untuk mengambil alih tanggung jawab pertahanan di kawasan
masing-masing. Nixon mengharapkan agar ASEAN merupakan inti dari kekuatan
tersebut. Seruan Nexon tersebut kemudian disebut juga sebagai “Doktrin Nixon”.[13]
Dalam pembukaan “Deklarasi
Bangkok: itu dirumuskan dasar-dasar pemikiran dan cita-cita serta tujuan kerja
sama regional tersebut. Gagasan ini pertama kali dicetuskan oleh wakil Thailand
dan Indonesia secara bersamaan, dan kepada Indonesia diminta untuk menyusun
“rencana” kerja sama regional tersebut (rencana yang dimaksud menambah anggota
ke dalam kerja sama regional). Untuk keperluan itu, pihak Indonesia menghubungi
semua negara-negara Asia Tenggara, guna memperoleh bahan-bahan yang selengkap
mungkin.[14]
Pada waktu
pembentukan ASEAN dirintis, maka dalam kesempatan itu, Adam Malik secara khusus
meminta agar dibukakan pintu bagi kemungkinan bergabungnya negara-negara Asia
Tenggara lainnya.[15] Indonesia
sebenarnya menginginkan jumlah keanggotaan yang lebih banyak dan lebih luas dari
sekedar Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina saja. Negara-negara
non-komunis lainnya, seperti Kamboja-nya Pangeran Sihanouk pada waktu itu dan
Birma, diinginkan pula. Malahan Ceylon[16]
pun tak akan ditampik. Namun karena ada keragu-raguan dari negara-negara
anggota lainnya itu terhadap perubahan dramatis di Indonesia, maka sikap mereka
terhadap gagasan tersebut dingin sekali.[17] Pendekatan
yang disebutkan di atas tersebut dilakukan secara khusus kepada Birma dan
Kamboja, namun juga karena politik negeri kedua negara itu kiranya tidak akan
memungkinkan mereka dapat ikut serta dalam kerja sama regional tersebut. Namun
demikian, pendekatan tersebut justru sangat diperlukan, agar tidak akan
menimbulkan salah pengertian di antara negara-negara tetangga.[18]
Dalam Deklarasi
Bangkok kelima Menteri Luar Negeri menandaskan bahwa ASEAN membuka pintu bagi
semua negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk memasuki ASEAN dengan
ketentuan harus menghormati dan tunduk kepada 7 pokok strategi yang dicetuskan
dalam Deklarasi Bangkok.[19]
Artinya Adam Malik memang tidak berhasil menarik Birma (sekarang Myanmar) dan
Kamboja untuk bergabung, namun keanggotaan terbuka bagi seluruh negara-negara
Asia Tenggara yang menganut tujuan dan dasar-dasar ASEAN. Menurut Leo
Suryadinata, bahwa melalui ASEAN, Indonesia harus dapat memainkan peran
pemimpin di wilayah Asia Tenggara ini, karena merupakan negara terbesar dalam asosiasi
tersebut. Kepemimpinan Indonesia telah terlaksana dalam tingkat tertentu,
meskipun tidak selalu sejalan dengan Indonesia sendiri. Tetapi dalam berbagai
isu penting, pandangan Indonesia selalu dipertimbangkan. Seperti pandangan
tentang pangkalan militer asing di wilayah regional.[20]
Pada saat yang
sama ketika ASEAN didirikan, Menlu Indonesia Adam Malik bersikeras untuk
mencantumkan rumusan bahwa pangkalan asing di negara-negara Asia Tenggara
bersifat sementara. Indonesia yang merupakan bagian dari ASEAN tetap
menghormati negara-negara ASEAN lain yang mengizinkan pangkalan asing di
negaranya. Diterimanya rumusan Adam Malik yang memasukkan unsur kata
“sementara” adalah kemenangan diplomatik yang cukup baik untuk kepentingan
jangka panjang bagi Indonesia dan bagi semua anggota ASEAN yang belum lama
berada di kancah politik Internasional.[21]
Pangkalan asing harus dengan persetujuan negara bersangkutan dan sama sekali
tidak boleh digunakan untuk mengganggu kemerdekaan dan kebebasan negara-negara
di kawasan tersebut, tidak pula untuk merongrong perkembangan pembangunan
nasional negara-negara tersebut.[22]
Desakan Indonesia tersebut terjadilah konsesi dan kompromis mengenai masalah
pangkalan asing ini. Konsesi dan kompromis itu dapat dilihat kembali dalam
preambule dari Deklarasi Bangkok tersebut.
Indonesia selalu
memandang pangkalan militer asing di Asia Tenggara sebagai suatu ancaman
terhadap kemerekaan Asia Tenggara, terutama Indonesia. Pangkalan militer asing
juga dilihat sebagai suatu hambatan terhadap peran Indonesia di dalam
masalah-masalah regional. Namun demikian, para pemimpin Indonesia (termasuk
Adam Malik) menyadari bahwa tidak realistis untuk menuntut pemindahan segera
dari pangkalan asing (yakni Amerika), dan karenanya, suatu kompromi diadakan di
antara negara-negara anggota. Sekalipun Deklarasi Bangkok itu mencantumkan
sifat kesementaraan pangkalan asing itu, namun dalam prakteknya kesemantaraan
itu tidak dapat cepat diakhiri. Sehingga antara tahun 1967 sampai tahun 1971,
yaitu antara Deklarasi Bangkok dan Deklarasi Zona Damai, Kemerdekaan, dan
Netralitas di Kuala Lumpur, negara-negara Thailand dan Filipna sebenarnya
menjalankan politik amfibi. Yaitu, kaki satunya berpijak di ASEAN, kaki lainnya
masih berpijak di SEATO.[23]
Namun, hingga
pertengahan 1970-an, tidak banyak yang bisa dilakukan ASEAN. Fungsi utamanya
bersifat simbolis: ASEAN tidak didirikan untuk menggalang beragam proyek, tapi
pertemuan-pertemuan dan proyek-proyeknya hanya untuk membenarkan kehadiran
organisasi itu sendiri. Tujuan utamanya adalah menjadi lambang kerja sama
regional dan memulihkan citra Indonesia sebagai aktor regional yang
konstruktif, bebas dari sentimen era Soekarno dan sikap agresif. Adam Malik dan
elite Orde Baru juga berharap bahwa kerja sama regional ini bisa berfungsi
sebagai penyeimbang terhadap pengaruh besar Jepang dan Amerika Serikat terhadap
Indonesia.[24] Dalam
proses perkembangannya tahun 1969 – 1974 merupakan tahap konsolidasi bagi
ASEAN. ASEAN telah mendapat pengakuan dari negara luar sebagai suatu kekuatan organisasi
regional Asia Tenggara, yang telah tumbuh menjadi suatu kekuatan ekonomi yang
mendapat tempat di wilayah Pasifik dan kelompok ekonomi lainnya di dunia
seperti Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dan Jepang.
Dalam bidang
sosial – budaya, ASEAN telah mencapai kemajuan yang cukup besar artinya.
Melalui berbagai proyek telah diusahakan untuk memasyarakatkan ASEAN, terutama
yang menyangkut kalangan remaja, seniman, dan cendikiawan. Selain itu peranan
ASEAN juga sudah diperluas ke dalam bidang Politik disampai kerja sama ekonomi
dan sosial – budaya. Presiden Soeharto menyatakan bahwa ASEAN merupakan
kelompok regional murni yang tidak mengabdi
kepada kepentingan kekuasaan asing, juga tidak menjalankan politik
memusuhi kekuatan asing. ASEAN adalah
sebuah organisasi regional asli yang mengemban kepentingan nasional.[25]
2.
Gerakan
Non-Blok (GNB)
Indonesia
memandang dirinya sebagai salah satu pendiri Gerakan Non-Blok, dan ingin diakui
seperti itu. Dalam banyak publikasi dengan topik politik luar negeri Indonesia,
Gerakan Non-Blok dipandang berasal dari Konferensi Asia-Afrika di tahun 1955,
juga dikenal sebagai Konferensi Bandung. Dasasila Bandung dipercaya sebagai
dasar dari prinsip-prinsip GNB. Konsep ZOPFAN diterima secara baik dalam
konferensi GNB di Aljazair tahun 1973, namun investasi asing dikecam oleh
banyak negara. Indonesia sebagai salah satu negara yang mempertahankan
investasi asing, mengatakan bahwa ini harus dilihat sebagai pelengkap pada
modal nasional dan ini akan memberikan keuntungan pada negara dan masyarakat
yang membutuhkan.
Dalam konferensi
yang belakangan (1970-an), kelihatan Indonesia masih tetap tidak mau menonjol.
Hanya menteri luar negeri yang dikirim untuk menghadiri pertemuan sampai bulan
September 1986 di saat Wakil Presiden Jenderal Umar Wirahadikusumah datang
untuk menghadiri pertemuan di Harare, Zimbabwe. Salah satu tujuannya adalah
mendapatkan dukungan dari negara-negara Non-Blok untuk mencalonkan Indonesia
sebagai ketua GNB berikutnya. Tawaran itu ditolak. Alasannya GNB yang
didominasi negara-negara pro-Sovyet itu tidak setuju terhadap kepemimpinan
Indonesia. Menurut mereka Indonesia sangat pro-Barat. Invasi Indonesia di Timor
Timur juga telah menimbulkan amarah negara-negara Afrika. Yang terakhir,
penolakan Indonesia untuk mengizinkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO)
membuka kantornya di Jakarta di catat oleh berbagai pengamat sebagai suatu
alasan kegagalan Soeharto memenangkan kursi ketua. Indonesia tidak populer di
mata sejumlah negara Asia dan Amerika Latin, sebagai akibat dari pendudukan
Indonesia atas Timor-Timur sepuluh tahun yang lalu dan hubungan Indonesia yang
dekat dengan AS.[26]
3. G.
77
Kelompok 77 (G-77) dibentuk pada
tanggal 15 Juni 1964 melalui pengesahan Joint Declaration dari 77 anggota
negara berkembang pada saat berlangsungnya sidang Sesi Pertama United Nations
Conference on Trade and Development (UNCTAD) di Jenewa. Kelompok 77 dan China
pada dasarnya merupakan forum yang bertujuan mendorong kerja sama internasional
di bidang pembangunan, khususnya bagi negara-negara berkembang. Pada
perkembangannya, kegiatan Kelompok 77 dan China ditujukan tidak saja untuk
memberikan dorongan dan arah baru bagi pelaksanaan kerja sama Utara-Selatan di
berbagai bidang pembangunan internasional, tetapi juga dimaksudkan untuk
memperluas kerja sama dalam memantapkan hubungan yang saling menguntungkan dan
saling mengisi antara sesama negara berkembang melalui Kerja Sama
Selatan-Selatan.
Kelompok 77 dan China memiliki
kegiatan-kegiatan penting dalam kerangka PBB, terutama untuk merundingkan berbagai
isu dan keputusan/resolusi yang akan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan
kegiatan PBB. Bagi Indonesia, kerja sama dalam wadah Kelompok 77 dan China
merupakan sarana yang baik untuk penguatan Kerja Sama Selatan-Selatan, antara
lain melalui Perez-Guererro Fund.[27] Pada tanggal 9-10 februari 1994 diadakan
pertemuan terbatas tingkat menteri luar negeri anggota GNB di Jakarta.
Pertemuan ini bersifat informal mempersiapkan berbagai masukan, pandangan,
saran, dan usulan-usulan bagi konferensi tingkat Menlu di GNB di Kairo,
terutama meningkatkan GNB dengan G-77.[28]
4. Organisasi
Konferensi Islam (OKI)
Indonesia menjadi salah satu Negara
yang mendirikan Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam KTT OKI I di Rabat,
Maroko. Indonesia diizinkan berpartisipasi dalam kerja sama yang berbentuk
didasarkan pada piagam PBB. Michael Leifer mengatakan, “indonesia telah
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan OKI bukan sebagai negara Islam, namun
sebagai sebuah negara yang menghargai prinsip-prinsip Gerakan Non-Blok dan
konferensi Bandung.”[29]
Pada tanggal 25-28 Januari 1981, KTT III OKI di Taif, Saudi Arabia, delegasi RI
datang dengan dipimpin oleh Wakil Presiden Adam Malik.[30]
Pada 1 april 1993, Organisasi
Konferensi Islam (OKI) mengadakan pertemuan di Karachi, Pakistan untuk
membicarakan pertumpahan darah di Bosnia. Indonesia memperlihatkan rasa
solidaritas dengan Negara-negara Islam lainnya atas pembantaian masyarakat
Islam Bosnia. Meskipun demikian, pejabat departemen Luar Negeri Indonesia
menyatakan bahwa ini tak perlu diartikan sebagai mengirim pasukan.[31]
5.
ASEAN
Free Trade Area (AFTA)
Dalam bahasa
Indonesia, diartikan sebagai Wilayah Perdagangan Bebas ASEAN. AFTA merupakan
usul Indonesia pada sidang Menteri Ekonomi negara-negara ASEAN ke-22 di Bali
pada Oktober 1990, dalam rangka memperkuat kerja sama ekonomi ASEAN. Hal ini
didorong oleh karena pada paruh pertama 1980-an negara-negara ASEAN menghadapi
kesulitan ekonomi. Penerimaan wilayah perdagangan bebas akan membuka jalan bagi
liberalisasi lebih jauh bagi ekonomi ASEAN. Pembebasan perdagangan intra-ASEAN
diharapkan akan meningkatkan kemampuan bersaing ASEAN terhadap negara-negara
Pasifik lainnya. AFTA diharapkan dapat berkembang secara berkelanjutan apabila
ASEAN meningkatkan jumlah komoditi yang diperdagangkan secara bebas antar
negara ASEAN.[32]
Pertemuan Para
Menteri Ekonomi ASEAN (AEM) ke-22 di Bali tanggal 29-30 Oktober 1990, telah
berhasil dicapai beberapa prakarsa baru. Di bidang perdagangan di sepakati
untuk memberlakukan “Tingkat Tarif Prefensi Efektif yang Sama” (Common Effective Preferential Tariff-CEPT)
antara 5-10% atas dasar produk per produk. Konsep CEPT ini juga diterapkan pada
pengaturan kerja sama ASEAN di bidang industri terutama produk-produk AIJV.
Pada tahap ini berbagai prakarsa lain diusulkan, seperti pembentukkan ASEAN
Treaty of Economic Cooperation, Growth Triangle concept, East Asia Economic
Grouping, dan ASEAN Free Trade Area. Pada tanggal 27-28 Januari 1992, Para
Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN kembali mengadakan Pertemuan Tingkat Tinggi di
Singapura.
KTT ASEAN IV ini
mempunyai arti penting dan bersejarah karena diadakan pada saat dunia sedang
mengalami perubahan yang mendasar. Situasi politik dunia berubah menuju pada
suatu pola hubungan internasional yang menimbulkan kesempatan dan tantangan
baru. Hal itu menuntut ASEAN untuk menentukan arah dan kebijakan baru di bidang
politik, ekonomi dan keamanan yang sekaligus juga merupakan sumbangan ASEAN
dalam menciptakan tata dunia baru. Dalam KTT tersebut semua prakarsa baru
dibahas.
Dalam bidang
ekonomi, khususnya kerja sama ekonomi intra-ASEAN, para Kepala
Negara/Pemerintahan negara-negara ASEAN menyepakati suatu Kerangka Persetujuan
mengenai Peningkatan Kerja Sama Ekonomi ASEAN (Framework Agreement on Enhancing
ASEAN Economic Cooperation) yang berfungsi sebagai “payung” bagi segala bentuk
kerja sama ekonomi ASEAN di masa mendatang, dan membentuk Kawasan Perdagangan
Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area-AFTA) yang akan dicapai dalam waktu 15 tahun
dengan menggunakan Skema Tingkat Prefensi Tarif Efektif yang Sama (CEPT)
sebagai mekanisme utamanya, melalui penandatanganan Agreement of the CEPT
Scheme for the AFTA.
Gagasan
pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN ini merupakan suatu terobosan yang
berani dan strategis. Namun mengingat adanya perbedaan tingkat perkembangan
ekonomi dari negara-negara anggota ASEAN antara lain dalam pendapatan per
kapita, tingkat perkembangan industri, tingkat keterampilan tenaga kerja, maka
untuk menuju kepada terbentuknya ASEAN sebagai “wilayah perdagangan bebas”
diperlukan langkah-langkah bertahap dalam kurun waktu yang cukup melalui bentuk
dan mekanisme yang sesuai dengan kesiapan dan tingkat kemajuan pembangunan
ekonomi anggotanya. Untuk mencapai terwujudnya AFTA, dibentuk sebuah Dewan
setingkat menteri untuk mengawasi, mengkoordinasikan, dan mengevaluasi
pelaksanaan CEPT. Pembentukan suatu Badan/Dewan (Council) yang bertugas untuk
mengkoordinasikan, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanan CEPT dan membantu Para
Menteri Ekonomi ASEAN (AEM) dalam segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan
CEPT. Badan ini beranggotakan satu orang wakil setingkat menteri dari
masing-masing negara-negara anggota ASEAN dan Sekretaris Jenderal ASEAN. Sekjen
ASEAN memberikan dukungan administrasi bagi kelancaran pelaksanaan tugas badan
tersebut.[33]
Sasaran AFTA:
AFTA akan punya daya tarik apabila tercipta pasar yang lebih besar dan dapatnya
ASEAN menarik penanaman modal asing yang lebih banyak. Dengan demikian AFTA
juga dapat dimaksudkan untuk menciptakan suatu daerah investasi, lebi dari
daerah perdagangan. Untuk itu menghadapi semua ini, ASEAN harus memperbaiki dan
menciptakan faktor-faktor penarik yang baru, seperti infrastruktur dan sumber
daya manusia yang berkemampuan tinggi, selain dari itu ASEAN juga harus
mengusahakan pengembangan diri sebagai suatu daerah investasi.
Sasaran terakhir
AFTA adalah menciptakan suatu pasar regional dengan penurunan bea masuk paling
tinggi lima persen pada masa transisi 10 tahun. Dalam transisi ini bea impor
yang berasal dari negara-negara ASEAN akan diturunkan ke tingkat maksimum yang
sama bagi setiap negara anggota, yaitu lima persen pada tahun 2003.
6. APEC
Forum Asia Pasific Economic
Cooperation (APEC) dibentuk pada November 1989 atas usul PM Australia Bob Hawke
dengan beranggotakan enam Negara ASEAN, Australia, Jepang, Korea Selatan,
Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Kemudian menyusul bergabung Cina, Hongkong,
Papua Nugini, Taiwan, dan Chili. Pada November 1933 KTT I APEC dilangsungkan di
Seattle, AS. Presiden Soeharto menerima undangan Presiden Clinton untuk hadir
di KTT tersebut. Pertemuan tersebut mengusulkan bahwa APEC akan bekerja menuju
liberlisasi Asia-Pasific.[34]
7. OPEC
Organization of Petroleum Exporting
Countries (OPEC) didirikan pada tanggal 14 September 1960 di bagdad oleh Negara
penghasil minyak bumi. Anggota OPEC terdiri dari Saudi Arabia, Irak, Iran,
Kuwait, Venezuela, Indonesia, Libya, Uni Emirat Arab, Nigeria, Qatar, Al
Jazair, dan Equador. Indonesia sangat berkepentingan dengan organisasi ini
karena minyak dan gas merupakan sumber devisa untuk membiayai kelangsungan
hidup Negara. Tujuan dari mendirikan OPEC ialah untuk mempersatukan langkah
kebijakan dalam bidang perminyakan internasional, dan menentukan harga minyak
dunia untuk melindungi Negara agama.
C.
Indonesia dan kerja sama keamanan
regional (ZOPFAN, SEANWFZ, Masalah Kamboja)
1.
ZOPFAN
(Zone of Peace, Freedom and Neutrality)
Kerja sama ASEAN
di bidang politik dan keamanan ini untuk pertama kalinya mulai memperlihatkan
eksistensinya pada waktu para Menteri Luar Negeri ASEAN dalam pertemuan
khususnya di Kuala Lumpur, November 1971 menerima Deklarasi Kuala Lumpur
mengenai konsep ZOPFAN.[35]
Hal ini didasari atas tanggapan politik terhadap ungkapan Natal Presiden AS;
Richard Nixon itu dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri Filipina Dr. Carlos
Romulo dalam penutupan pertemuan Menlu ASEAN yang keempat. Pernyataan politik
Menlu Dr. Carlos Romulo itulah yang mengawali kegiatan ASEAN di bidang politik,
dan empat tahun semenjak ASEAN berdiri, untuk pertama kali keluarlah Deklarasi
Politik di Kuala Lumpur tersebut. Selain itu hal ini juga dikarenakan perubahan
prinsipal dalam politik luar negeri Amerika Serikat, yang membuat terjadinya
pergeseran di bidang politik dunia.[36],[37]
Pada tanggal 27
November 1971, lima wakil dari ASEAN, yaitu Perdana Menteri Tun Abdul Razak
dari Malaysia, Menteri Luar Negeri Filipina Carlos Romulo, Menteri Luar Negeri
Singapura S. Rajaratnam, Wakil Dewan Eksekutif Thailand Thanat Khoman, dan
Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik mengadakan pertemuan darurat untuk
menggariskan kebijaksanaan baru yang dapat menampung sikap politik Presiden
Nixon yang sementara itu sudah mengeluarkan gagasan “Vietnamization”[38]
dari keterlibatan perang Amerika di Indo-China. Dan di Kuala Lumpur itulah
mereka mengeluarkan deklarasi politik yang dikenal sebagai The Declaration of the Zone of Peace, Freedom and Neutrality,
Deklarasi Daerah Damai, Bebas dan Netral atau yang dinamakan secara pendek
Deklarasi Kuala Lumpur.
Mengenai konsep
ZOPFAN, ini merupakan anjuran Tun Abdul Razak saat menjadi Perdana Menteri
Malaysia yang mana ia mulai menata kembali politik luar negeri Malaysia. Ia
juga menentang kehadiran pangkalan militer asing di wilayah tersebut. Konsep
ZOPFAN inilah yang pada akhirnya diambil ASEAN sebagai cita-cita ASEAN yang
harus dicapai di masa-masa mendatang.[39]
Dalam tatanan
praktis, kapabilitas hubungan luar negeri Indonesia lebih teruji lagi, terutama
dalam hal mempraktekkan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bersifat
“bebas aktif”. Pada tanggal 27 November itu para Menlu ASEAN menyetujui konsep
tersebut. Pada saat perimbangan kekuatan di Asia Pasifik mulai berubah dengan
pendekatan Amerika-RRC pertengahan 1971, Indonesia menggariskan kemauan politik
regional dalam rumusan ZOPFAN itu. Indonesia taat pada asas bahwa masalah
keamanan regional haruslah diupayakan sebanyak mungkin atas kemauan bangsa Asia
Tenggara sendiri, bukan atas “jaminan” negara-negara besar sebagaimana masih
dianut oleh negara ASEAN lainnya. Prinsip-prinsip ZOPFAN adalah kerangka
politik utama RI, sebagai cetusan naluri dasar kebebasan yang bersumber pada
cita-cita revolusi nasional RI 1945-1950 dan lanjutan penerapan konsep
ketahanan nasional. [40]
Menurut Roeslan
Abdulgani, ZOPFAN juga terkait dengan permasalahan pangkalan militer asing yang
bersifat kesementaraan; tetapi dalam prakteknya tidak berjalan semestinya
karena ada negara yang pakai politik amfibi. Menurut beliau juga, tepatlah
komentar beberapa pihak yang menyatakan bahwa sebenarnya Deklarasi Kuala Lumpur
tahun 1971 itu sudah berlaku untuk Indonesia. indonesia sudah sejak berdirinya
berpolitik non-aligned, dan tidak
memperkenankan adanya pangkalan asing di daerah wilayahnya. Indonesia sudah
lama “netral”, dan ini tidak berlaku bagi negara-negara anggota ASEAN lainnya
seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina.[41]
Dalam deklarasi
tersebut kelima negara ASEAN menyatakan tekad untuk memperjuangkan pengakuan
dunia luar terhadap kedudukan Asia Tenggara sebagai daerah Damai, Bebas, dan
Netral yang harus dihormati dan tidak boleh diganggu gugat oleh kekuatan asing.
Ditegaskan juga bahwa setiap negara di Asia Tenggara harus berusaha sekuat
tenaga untuk memperluas bidang kerja sama sehingga kekuatan dan kerja sama di
lingkungan negara-negara tetangga akan menjadi semakin mantap.[42]
Penerimaan/penyetujuan
konsep ZOPFAN ini merupakan upaya bagi ASEAN untuk mewujudkan aspirasi politik
yang terkandung dalam Deklarsi Bangkok, khususnya mengenai tujuan ASEAN yaitu
memperkokoh perdamaian dan stabilitas kawasan dengan menjunjung tinggi rasa
keadilan dan norma hukum dalam hubungan antara negara-negara di kawasan dengan
berpegang pada asas-asas Piagam PBB. Sejak saat itu kerja sama di bidang
politik telah menjadi salah satu mata acara dalam pertemuan-pertemuan ASEAN
baik pada KTT maupun pada pertemuan-pertemuan antarpara Menlu dan
pejabat-pejabat tinggi ASEAN.[43] Jelas
sifat Deklarasi Kuala Lumpur itu adalah kolektif dari semua negara-negara ASEAN
dengan berwatak self-neutralization.[44]
Konsep ZOPFAN ini menjadi doktrin ASEAN di tahun 1976 ketika ini diterima dalam
Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN.[45]
2.
SEANWFZ (South East Asia Nuclear Weapon Free Zone)
SEANWFZ
(Southeast Asian Nuclear Weapons Free Zone) Selain mendukung ZOPFAN indonesia
juga membuat doktrin baru yaitu SEANWFZ yang merupakan zona bebas senjata
nuklir yang merupakan bagian dari ZOPFAN. Karena Indonesia menganggap bahwa
jika ZOPFAN tidak dapat tercapai, maka SEANWFZ lah yang harus dijalankan
terlebih dahulu. Yang pada akhirnya Zona Bebas Senjata Nuklir ini dimasukkan
kedalam deklarasi Manila pada tahun 1987 . Pembentukan SEANWFZ merupakan upaya
negara di Asia Tenggara untuk meningkatkan keamanan da stabilitas kawasan baik
regional maupun global, dan rangka untuk mendukung upaya tercapainya suatu
pelucutan dan pelanggaran senjata nuklir secara umum dan menyeluruh.
Penandatanganan traktat SEANWFZ di Bangkok pada tanggal 15 Desember 1995 dan
sudah diratifikasi oleh seluruh negara ASEAN. Penandatangan Traktat ini
merupakan tonggak sejarah yang sangat penting bagi ASEAN dalam upaya untuk
mewujudkan kawasan Asia Tenggara yang aman dan stabil serta usaha untuk
mewujudkan perdamaian dunia . Kawasan Bebas Senjata Nuklir (KBSN) terbentuk
pada KTT ASEAN ke 5 di Bangkok 18 Desember 1996.
Perlucutan
senjata khususnya senjata nuklir, merupakan hal yang sulit dan kompleks,
sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif dan beragam, yang mencakup
pendekatan global maupun regional. Pembentukan suatu KBSN pada umumnya dianggap
sebagai upaya pengawasan senjata atau non proliferasi regional (regional arms
control and non profileration measures), dengan tujuan memberikan keamanan yang
lebih baik bagi negara-negara di kawasan dengan tidak membiarkan negara-negara
kawasan untuk memiliki senjata nuklir. Pembentukan KBSN memperkuat NPT (Non
profileration treaty) karena secara tegas melarang penempatan senjata nuklir di
suatu kawasan oleh negara-negara luar kawasan. Negara-negara penandatangan juga
berharap melalui pengaturan semacam ini mereka dapat menjauhkan diri dari semua
aktivitas nuklir yang berhubungan dengan negara-negara nuklir sehingga tidak
terseret dalam persaingan negara-negara besar. Adanya ketentuan bagi
negara-negara nuklir untuk memberikan jaminan untuk tidak menggunakan atau
mengancam untuk menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara non nuklir.
3.
Masalah Kamboja
Masalah
Kamboja Konflik Internal Kamboja Pada masa kepemimpinan Pangeran Sihanouk
Kamboja sudah bekerja sama dengan negara-negara barat terutama dengan Perancis
dan Amerika Serikat. Dengan dukungan dari Amerika Serikat banyaknya masalah
yang terjadi, Lon Nol menteri pertahanan saat itu melakukan kudeta terhadap
pemerintahan Pangeran Sihanouk, dengan beberapa alasan; pertama, Pangeran
Sihanouk mengizinkan pasukan sementara Vietnam Selatan menduduki wilayah
Kamboja, dan hal tersebut jelas-jelas dianggap sebagai pelanggaran terhadap
kedaulatan Kamboja. Kedua, Pangeran Sihanouk dianggap otoriter karena bertindak
tanpa memperhatikan Undang-Undang dan Konstitusi. Ketiga, karena Pangeran
Sihanouk bersifat pilih kasih terhadap keluarga dalam memilih orang-orang yang
akan duduk dalam kursi pemerintahan. Dan yang terakhir, Pangeran dituduh
membiarkan terjadinya korupsi diantara keluarga - keluarga kerajaan.
Setelah
berhasil menjatuhkan kepemimpinan Pangeran Sihanouk, di bawah kepemimpinan Lon
Nol dan pengaruh Amerika Serikat, Kamboja menjadi negara yang sangat pro barat.
Sikap terbuka Kamboja ini dimanfaatkan AS untuk membendung pengaruh Komunis
yang sedang menjalar dikawasan Indochina dan Asia Tenggara. Tetapi pemerintahan
Lon Nol tidak bertahan lama. Pada tahun 1975 Pemerintahan Khmer Republic
dijatuhkan oleh Democratic Kampuchea (DK) di bawah rezim Khmer Merah, dengan
Pol Pot sebagai pemimpinnya. Dibawah pemerintahan Pol Pot inilah Kamboja
menjadi negara beraliran komunis dan terisolir dari hubungan diplomatik. Ia
memutuskan hubungan dengan negara-negara di kawasan regionalnya dan di belahan
dunia lainnya, kecuali dengan Cina, Vietnam, dan Swedia. PBB pun tidak mengakui
adanya pemerintahan ini.
Politik Luar
Negeri yang di jalankan oleh Demokratik Kampuchea ini disebut sebagai konsep
Year Zero, yaitu revolusi destruktif yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan
secara massal dalam suatu periode. Invasi Vietnam ke Kamboja Pada Desember 1978
Vietnam benar-benar menginvasi kamboja, menggulingkan rejim Pol Pot (yang haus
darah), dan menanamkan pemerintahan Heng Samrin pro-vietnam. denagn dukungan
pasukan kuat vietnam bertahan menguasai Kamboja, yang diubah menjadi RRK
(Republik Rakyat Kamboja). Sementara tokoh RRK seperti Heng Samrin, Chea Sim,
dan Hun Sen sebenarnya adalah mantan komandan Khmer Merah di kawasan timur
Kamboja. Mereka menentang keganasan Pol Pot dan melarikan diri ke Vietnam. Di
sanalah para pemberontak ini dilatih dan dipersiapkan Vietnam untuk kemudian
merebut dan menduduki Kamboja dengan dukungan pasukan Vietnam . Invasi Vietnam
ke Kamboja menciptakan persoalan serius di sekitar perbatasan wilayah
Thailand-Kamboja. Sisa-sisa pasukan Khmer Merah yang masih bertahan plus puluhan
ribu pengungsi dari Kamboja memenuhi wilayah tersebut. Konflik bersenjata di
kawasan tersebut tidak terhindarkan . Penyelesaian Invasi Vietnam ke Kamboja
Sikap Vietnam yang menginvasi kamboja sangat dikecam keras oleh negara-negara
ASEAN.
Para Menlu ASEAN
mengeluarkan suatu keputusan bersama tanggal 7 Januari 1979 di Jakarta. Dalam
Komunike itu dinyatakan bahwa ASEAN mengutuk invasi bersenjata Vietnam ke
Kamboja, serta menegaskan hak-hak rakyat Kamboja untuk menentukan masa depannya
yang terbebas dari campur tangan pihak luardan menyerukan penarikan pasukan
asing dari Kamboja. Namun pernyataan tersebut di tolak oleh Vietnam dan
penolakan yang dilakukan Vietnam mengakibatkan seruan-seruan perang yang muncul
di setiap wilayah Kamboja. Kamboja semakin komplek dengan campur tangan pihak
luar, seperti RRC dan AS. Untuk memecahkan masalah Kamboja pada bulan Juli 1988
di Istana Bogor (Indonesia) berkumpul pihak-pihak yang bertikai dan pertemuan
tersebut dikenal dengan JIM (Jakarta Informal Meeting).
Kemudian untuk
menindak lanjuti JIM yang pertama pada bulan Februari 1989 diadakan JIM II dan
berhasil menemukan 2 masalah penting, yaitu: • Penarikan pasukan Vietnam dari
kamboja akan dilaksanakan dalam kaitannya dalam penyelesaian politik
menyeluruh. Vietnam mulai memberikan janji dan bersedia menarik pasukannya dari
Kamboja; • Muncul upaya untuk mencegah kembalinya rezim Pol Pot, yang semasa
berkuasa di Kamboja telah melakukan pembantaian keji terhadap sekitar sejuta
rakyat. Daftar Bacaan Dian Triansyah Djani. 2007. ASEAN Selayang Pandang.
Jakarta: Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN. Leo Suryadinata. 1998. Politik
Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES.
D. Normalisasi
hubungan Republik Indonesia dengan RRC
Sejak terjadinya
upaya kudeta yang gagal oleh Partai Komunis Nasional (PKI) pada 30 September
1965, hubungan antara Jakarta – Beijing menjadi memudar. Popularitas RRC dimata
pemerintah dan rakyat Indonesia menjadi turun drastis serta Beijing tidak
dipandang sebagai mitra terdekat karena Cina dituduh ikur campur dalam rencana
mengkudetakan pemerintah pada tubuh PKI. Begitu banyak sekali bukti – bukti
sehingga sentimen terhadap peristiwa
30S/PKI dicampuri oleh Cina semakin menajam.[46]
Pertikaian
diplomatik semakin menjadi kompleks karena keterlibatan unsur – unsur politik
massa di Indonesia dan Cina. Berbagai gelombang massa demonstrasi agar Soekarno
menghancurkan PKI dan hubungannya dengan Cina. Selain itu kedutaan Cina juga
tidak terlepas dari amukan dan pengrusakan. Kemudian di pihak Cina sendiri,
ratusan pemuda pada pertengahan bulan April tahun 1967 melakukan
demonstrasi,mengecam tindakan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia terhadap
Kedubesnya di Kawasan Glodok. Akibatnya terjadi saling pengusiran diplomat.
Pada 27 April 1967, pemerintah Indonesia mengusir diplomat Cina dari Indonesia
dan kemudian memanggil pulang ke Indonesia
seluruh staf diplomatik di Beijing.
Puncaknya
pemerintah Indonesia melakukan memorandum dari Departemen Luar Negeri pada 23
Oktober 1967 dengan resmi menegaskan bahwa pemerintah Indonesia membekukan
hubungan diplomatik dengan Cina yang terhitung sejak 30 Oktober 1967. Sampai
bulan Agustus 1975, Indonesia masih mempertahankan status quo meskipun negara – negara Asia tenggara sudah membuka
jalan hubungan diplomatik dengan Beijing. Pada sejak awal – awal 1970 an sudah
nampak normalisasi hubungan Indonesia dan Cina.
Pada akhir tahun
1977, isu normalisasi kembali menjadi pembicaraan hangat karena KADIN (Kamar
Dagang dan Industri Indonesia) mengunjungi Cina untuk mengunjungi Canton Fair.
Sejak saat itu hasrat pihak penguasa Indonesia untuk berdagang secara langsung
dengan Cina semakin menguat. Jalan untuk merintis hubungan dagang dengan Cina
mulai terbuka ketika Indonesia mengalami kesulitan karena turunnya harga minyak
pada awal tahun 1980-an. Lembaran baru dalam hubungan Indonesia – Cina dimulai
ketika ditandatanganinya kontrak pembelian komoditi RI oleh Cina di Canton pada
tanggal 24 November 1984. Hubungan dagang langsung RI – Cina dibuka secara
resmi setelah kedua belah pihak sepakat untuk menandatangani sebuah Memorandum of Understanding (MoU) di Singapura pada tanggal 5 Juli 1985.
Seiring dengan
meningkatnya perdagangan dan kontak – kontak ekonomi antara RI – Cina, kontak –
kontak politik terus berjalan walaupun Pemerintah Indonesia mencoba memberi
batasan yang agak tegas antara hubungan ekonomi dan politik. Ketika pada bulan Februari 1989, Presiden Soeharto
menerima Menlu RRC yaitu Qian Qichen di Tokyo sepakat dalam mengadakan arah
normalisasi hubungan diplomatik antara dua negara. Baik Jakarta maupun Beijing,
juga sepakat untuk menjadikan Dasa Sila Bandung dan Lima Prinsip Koeksistensi
Damai sebagai dasar bagi normalisasi itu.
Kesediaan
Indonesia dalam mendirikan hubungan normalisasi dengan Cina juga tidak terlepas
dengan syarat yaitu tidak akan mempengaruhi dan mencampuri urusan dalam negeri
masing – masing dan dari Cina juga menegaskan tidak akan membantu sisa gerakan
PKI di Indonesia.
Hubungan
diplomatik yang telah beku selama 23 tahun akhirnya mencair pada tanggal 8
Agustus 1990 setelah dilakukannya penandatanganan “Memorandum of Understanding
Between the Goverment of the Republic of Indonesia and the Goverment of the
People’s Republic of China on the Resumption of Diplomatic Relations”.[47]
[1] Leo
Suryadinata. Politik Luar Negeri
Indonesia di bawah Soeharto ( terj), (Jakarta: LP3ES, 1998), hal 44-45
[2] A.
Dahana et. Al (ed). Taufik Abdullah & A.B. Lapian. Pascarevolusi; Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 7, (Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve atas kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2012), hal 79
[3] M. Sabir. Politik Bebas Dan Aktif : Tantangan Dan
Kesempatan, (Jakarta: PT Gita Karya, 1987), hal`47
[4] Marwati Djoened
Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal 611
[5] M. Sabir. Politik Bebas Dan Aktif : Tantangan Dan
Kesempatan. Op Cit, hal 209
[6] Mulyono Al
Joyomartono. Jiwa, Semangat, dan
Nilai-Nilai Perjuangan Bangsa Indonesia, (Semarang : IKIP Semarang Press.
1990), hal 111
[7] M.C.
Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern
1200-2008, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), hal 612
[8] Leo
Suryadinata. Politik Luar Negeri
Indonesia di bawah Soeharto ( terj), (Jakarta: LP3ES, 1998), hal 84
[9] Roeslan
Abdulgani. Asia Tenggara di tengah
Raksasa Dunia, (Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan, 1978), hal 36
[10] Adam
Malik. Mengabdi Republik jilid III
Angkatan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1979), hal 80
[11] M.C.
Ricklefs. Op Cit, hal 612
[12] St.
Munadjat Danusaputro. Astra-Jaya: Asia
Tenggara dalam Jalan Silang Dunia, (Jakarta: Binacipta, 1984) hal 181
[13] Frans S. Fernandes. Hubungan Internaaional dan Peranan Bangsa
Indonesia Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: P2LPTK, 1988), hal 188
[14] St.
Munadjat Danusaputro. Op Cit, hal 180
[15] A.
Dahana et. Al (ed). Taufik Abdullah & A.B. Lapian. Pascarevolusi; Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 7, (Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve atas kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2012), hal 81
[16] Kini
bernama Sri Lanka, sebuah negara yang terletak di sebelah tenggara India.
[17] Roeslan
Abdulgani. Asia Tenggara di tengah
Raksasa Dunia, (Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan, 1978), hal 36
[18] Ibid, hal 36
[19] Adam
Malik. Mengabdi Republik jilid III
Angkatan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1979), hal 81
[20] Leo
Suryadinata. Op Cit, hal 85
[21] A.
Dahana et. Al (ed). Taufik Abdullah & A.B. Lapian. Op Cit, hal 81
[22] Adam
Malik. Op Cit, hal 81
[23] Roeslan
Abdulgani. Asia Tenggara di tengah
Raksasa Dunia, (Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan, 1978), hal 37-38
[24] M.C.
Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern
1200-2008, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), hal 612
[25] Marwati
Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, (Jakarta: Balai Pustaka,
2008), hal 616-617
[26] Leo
Suryadinata. Politik Luar Negeri
Indonesia di bawah Soeharto ( terj), (Jakarta: LP3ES, 1998), hal 221-222
[27] Kementrian Luar
Negeri RI, (www.kemlu.go.id).
[28] A.
Dahana et. Al (ed). Taufik Abdullah & A.B. Lapian. Op Cit, hal 94
[29] Ibid, hal 83
[30] Ibid, hal 88
[31] Ibid, hal 93
[32] Farida
Welly. Handout Mata Kuliah Sejarah Asia
Tenggara, (Padang: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, 2005), hal 69
[33] Sekretariat
Nasional ASEAN dan Departemen Luar Negeri Indonesia. ASEAN Selayang Pandang, (Jakarta: Sekretariat Nasional ASEAN dan
Departemen Luar Negeri Indonesia, 1992), hal 35-36
[34] A. Dahana et. Al
(ed). Taufik Abdullah & A.B. Lapian. Pascarevolusi;
Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 7, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve
atas kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
2012), hal 93
[35] Sekretariat
Nasional ASEAN dan Departemen Luar Negeri Indonesia. ASEAN Selayang Pandang, (Jakarta: Sekretariat Nasional ASEAN dan
Departemen Luar Negeri Indonesia, 1992), hal 136
[36] Adam
Malik. Op Cit, hal 84-85
[37] Yakninya
mengundurkan keterlibatan dalam Perang Vietnam, kemudian Nixon-Kissinger sedang
merintis politik rekonsiliasinya dengan Peking (sekarang Beijing); dimana
Peking masuk ke dalam PBB dibuktikan kunjungan Nixon ke RRC dalam bulan
Februari 1972, terciptanya “détente” antara AS dan Uni Sovyet.
[38] Menurut
Roeslan Abdulgani ini situasi dimana AS sedang dalam proses mengundurkan
keterlibatannya dalam Perang Vietnam.
[39] Leo
Suryadinata. Op Cit, hal 89
[40] A.
Dahana et. Al (ed). Taufik Abdullah & A.B. Lapian. Op Cit, hal 84
[41] Roeslan
Abdulgani. Op Cit, hal 38
[42] Adam
Malik. Op Cit, hal 85
[43] Sekretariat
Nasional ASEAN dan Departemen Luar Negeri Indonesia. ASEAN Selayang Pandang, (Jakarta: Sekretariat Nasional ASEAN dan
Departemen Luar Negeri Indonesia, 1992), hal
[44] Roeslan
Abdulgani. Op Cit, hal 47
[45] Leo
Suryadinata. Op Cit, hal 90
[46] Bantarto
Bantoro, Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru, (Jakarta:
CSIS, 1994), hal 51
Komentar